Indonesia zaman doeloe (namanya tentu belum Indonesia), tepatnya di era kerajaan Islam pernah diterapkan syariat Islam secara formal di lingkup kerajaan.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, terjadi perdebatan terkait relasi Islam dan politik. Kelompok Islam menghendaki Indonesia merdeka menjadi negara Islam. Sementara kelompok naslonalis menghendaki negara sekular.
Perdebatan panjang dan melelahkan ini membawa pada kesepakatan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian “gentleman agreement” ini mengalami “amandemen” pada tanggal 18 Agustus 1945.
Persidangan di Konstituante yang dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD 1945 yang dinilai masih singkat mengalami deadlock hingga akhirnya Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang di antara isinya menyatakan kembali ke UUD 1945.
Sejak itu posisi UUD 1945, termasuk di dalamnya yang berisikan pasal-pasal yang berkenaan dengan relasi agama (tentu lebih banyak konteksnya bersinggungan dengan Islam) dan negara tak mengalami perubahan, meski sempat terjadi amandemen pada awal-awal Reformasi.
Bagi kelompok yang tak menghendaki formalisasi Islam (dalam perkembangannya kelompok ini juga dihuni kelompok Islam yang leluhurnya dulu dengan serius memperjuangan negara Islam) berargumen bahwa formalisasi Islam itu sama halnya mengangkangi kemajemukan Indonesia.
Argumen lainnya, dalam Islam juga tak dikenal konsep tentang negara. Islam hanya menawarkan nilai-nilainya saja, seperti keadilan, kesamaan, kebebasan, dan semua yang masuk dalam maqasyid al-syariah. Nilai-nilai Islam inilah yang harus diperjuangkan secara serius dalam konteks bernegara.
Itulah kira-kira argumentasinya.
Saya sangat sepakat dengan argumentasi tersebut. Hanya saja argumen tersebut menjadi lucu bahkan menggelikan dan bercampur menjengkelkan, ketika semangat mereka untuk menolak formalisasi Islam itu tidak sebanding dengan upaya mereka untuk menghadirkan nilai-nilai Islam yang jadi argumentasinya.
Hingga kemerdekaan ke-75 tahun, nilai-nilai Islam bukan tambah menguat tapi sebaliknya semakin kabur. Mentalitas kebanyakan para mengelola, menyelenggara negara seperti orang yang tak beragama. Agama sebatas formalitas. Produk perundang-undangan dan kebijakan negara lainnya juga terlalu sering mengabaikan nilai-nilai Islam.
Argumen yang menggebu-gebu untuk menolak negara Islam dan lebih memilih menghadirkan nilai-nilai Islam hanya tinggal argumentasi. Tak terlihat adanya keseriusan untuk menghadirkan nilai-nilai Islam. Yang terjadi saat ini bukan hanya formalisasi Islam yang ditolak, nilai-nilai Islam pun ditolaknya.
Negara Pancasila yang kerap disebut sebagai “negara agamis”, “negara jalan tengah” (wasathiyah) hanya tinggal status. Pancasila hanya tinggal sila-silanya, paling banter menjadi jargon, jargon sebagai bentuk final dan harga mati.
Percayalah kalau bentuk “negara ideal” ini dikelola dengan cara-cara yang bukan saja bertabrakan dengan nilai-nilai Islam, tapi juga bertentangan dengan Pancasila dan bahkan dikelola dengan sangat ugal-ugalan, maka –dengan berkaca pada kehancuran negara-negara besar– tak mustahil Indonesia pun akan mengalami nasib serupa.
Pancasila sebagai “negara perjanjian” (mitsaqan ghalidza) akan berakhir dan akan lahir mitsaqan ghalidza lainnya. Sekian. (*)
(Depok, 15/8/2020)
Ma’mun Murod Al-Barbasy, Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
Comments 1