TAJDID.ID-Medan || Ekonom senior INDEF Prof Dr Didik J Rachbini mengatakan, perosalan UU No 2 Tahun 2020 adalah kecenderungan pemerintah memanfaatkan situasi untuk menjadi mutlak atau absolut, menjadi kekuatan sendiri, dimana seluruh pengambilan keputusan itu terpusat kedalamnya.
“Nah, kecenderungan otoriter seperti ini sedang terjadi di republik ini. Artinya, demokrasi Indonesia kini sudah mengarah kepada otoritarianisme,” ujarnya saat menjadi salahsatu pemantik dalam acara Serial Webinar KMPK (8) dengan tema ‘UU No. 2/2020 Manipulasi Korona: Pro Pengusaha & Abai Buruh’, Jum’at (14/8/2020).
Terkait hal ini, Didik mengatakan, belum lama ini Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sudah melakukan satu observasi, dimana hasilnya Indonesia itu sudah termasuk dalam kategori negara otoriter dengan empat ciri utamanya, yaitu komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil.
Baca berita terkait:
- Din Syamsuddin: UU Corona adalah Bentuk Rekayasa Politik Lewat Rekayasa Hukum
- LP3ES: Indonesia Telah Penuhi 4 Kriteria Negara Otoriter
Terkait dengan UU Corona, Didik mengungkapkan, bahwa sampai tahun 2022 UU ini akan menghilangkan seluruh kekuasaan legislatif (DPR) tanpa diskusi dan dialog yang memadai, sehingga DPR tak mampu merubah angka nol jadi satu atau angka seratus jadi seribu. Ditegaskannya, semua dilakukan oleh pemerintah dan diambil kekuasaan itu oleh pemerintah dengan dalih UU Corona ini.
Lantas, lanjut Didik, yang terjadi kemudian adalah pengambilan keputusan semena-mena, misalnya tentang utang, kemudian alokasi anggaran tanpa dialog.
Didik membeberkan, di dalam rincian anggaran, untuk sektor kesehatan itu sekitar 80an triliun rupiah, kemudian untuk yang lain-lain kira-kira 700 dikurang 80 triliun. Jadi untuk kesehatan hanya sekitar seperdelapan atau sepersepuluh dari anggaran total.
“Ini menandakan bahwa alasan kedaruratan dari UU Corona itu tidak memenuhi dan tidak sesuai dari sisi implementasinya. Dan yang terjadi kemudian adalah utang.” sebutnya.
Tentang persoalan utang, Didik mengungkapkan, bahwa utang Indonesia sekarang jumlahnya sudah mencapai 400 miliar dolar, gabungan antara utang pemerintah, obligasi dan termasuk swasta. Dijelaskannya, jika 400 miliyar itu dikalikan 15 ribu rupiah jumlahnya sangat besar.
“Bayangkan saja untuk bunganya saja kita harus 400 triliun rupiah. Bersam pokoknya kita bisa habis 800 sampai 900 triliun setiap tahun. Dan untuk itu kita gali lubang tutup lubang. Harus berutang untuk membayar utang. Kalau tidak berutang kita tidak akan mempunyai kemampuan untuk menagani pandemi corona seperti sekarang ini,” sebut Dididk.
Kemudian, dikaitkan dengan RUU Omnibuslaw, Didik menyoroti perilaku pemerintah soal utang, dimana ia menilai utang-utang itu sengaja digenjot sedemikiar rupa sehingga menggelembung sangat besar sekali, dan itu kesempatan dunia usaha masuk.
“Banyak kemudian muncul pembonceng-pembonceng gratis dan pemburu rente yang mendapat kemanfaatan. Ini persis terjadi seperti tahun 1998. Bailout yang terjadi pada tahun 1998, pengusaha-pengusa besar yang berutang banyak ke bank-bank pemerintah justru makin kaya raya,” ungkapnya.
Lebih lanjut Didik menjelaskan, RUU Omnibuslaw dianggap penting dikarenakan Presiden kesal terhadap birokrasi yang sangat ruwet. Distulah kemudian Presiden meminta agara segala apapun yang menjadi hambatan di UU, baik di pusat maupun daerah, itu harus diterabas.
Inilah yang menjadi alasan RUU Omnibuslaw dibuat, Perintahnya itu 100 hari harus selesai. Artinya dalam 100 hari itu harus bisa menyisir 75 UU dan tebal naskahnya itu 1078 halaman.
“Bagi saya ini aneh, karena saya berpengalaman 2 kali di parlemen, dimana membikin UU itu tidak gampang. Siang-malam kerja keras dan melibatkan puluhan akademisi dan cendekiawan, tapi setahun baru kelar,” kata Didik.
Jadi menurutnya target 100 hari itu tidak masuk akal, itulah sebabnya pejabat yang terkait dengan itu lintang-pukang jungkir-balik dan kemudian menimbulkan huru-hara.
Menurut Didik, UU Corona dan RUU Omnibuslaw telah menimbulkan komplikasi jika dilihat dari sisi proses kebijakan publik. Dikatakannya, dulu tidak ada perubahan UU, yang ada adalah implementasi di lapangan, sedangkan UU nya ditarik ke dalam Peraturan pemerintah.
“Nah Sekarang UU nya yang di atas diributkan sedangkan implemntasinya di bawah kurang memadai, sehingga terjadi masalah-masalah di level UU, di implentasi tidak tercapai,” tegasnya.
Parahnya lagi, kata Didik, di dalam RUU itu terjadi perebutan kekuasaan untuk mengamankan rentenya masing-masing. Ujung-ujungnya rakyat yang jadi korban dan buruh kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kesejahteraan yang terbaik.
“RUU Omnibuslaw akan menggergaji banyak kepentingan publik disebabkan terjadi perburuan rente dan pengkaplingan kekuasan melewati UU , serta memanfaatkan kelengahan publik dan kekosongan check and balance,” ujarnya.
Didik juga menyinggung soal penundaan sidang judicial review UU No 2 Tahun 2020-red. Dia mensinyalir, penundaan itu adalah bagian dari proses politicing yang terjadi saat ini.
“Saya berani mengatakan itu karena seluruh lini kekuasaan yang ada sudah diambil dan tidak tersisa check and balance yang memadai . Untunglah ada segelintir anak bangsa yang tergerak untuk melakukan penyelamatan yang dipimpin oleh Prof Din Syamsuddin. Saya kira itu akan menjadi sinar yang membawan pencerahan,” sebutnya.
Webinar yang dipandu Sekjen KMPK Auliya Khasanofa ini menghadirkan keynote-speaker Prof Dr M Din Syamsuddin (Ketua Komite Pengaraha KMPK) dan sejumlah pembicara, diantaranya, Dr MS Kaban (Masyumi Reborn), Sabda Pranawa Djati (ASPEK Indonesia) dan Heri Hermawan (SPASI) (*)