TAJDID.ID || Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto menyebut Indonesia telah memenuhi empat kriteria negara penganut otoritarianisme lewat sejumlah kebijakan pemerintah.
Penilaian Wijayanto merujuk pada empat ciri rezim politik otoriter yang disampaikan beberapa akademisi Universitas Harvard, yaitu komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil.
“Nah berdasarkan empat indikator itu, saya mau menyampaikan bahwa di Indonesia semua indikator itu ada,” kata Wijayanto dalam webinar ‘Mimbar Bebas Demokrasi Melawan Ologarki’, Ahad (14/6).
Diungkapkannya, ciri komitmen lemah terhadap aturan demokrasi tercermin dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Saat itu, kata Wijayanto, Bawaslu melaporkan sejumlah kasus ketidaknetralan ASN, tetapi Kementerian Dalam Negeri tidak menindaklanjutinya.
Indikasi lain, kata Wijayanto, adalah wacana amandemen UUD 1945, terutama ide untuk memperpanjang masa pemerintahan presiden menjadi tiga periode.
Kemudian ciri penyangkalan legitimasi oposisi tercermin dari campur tangan pemerintah terhadap konflik internal beberapa partai. Ia mencontohkan intervensi terhadap konflik Partai Golkar usai Pilpres 2014.
“Pada 2014 Partai Golkar dekat dengan Prabowo, bahkan TvOne menyiarkan pemenang pemilu adalah Prabowo. Tapi 2016 tiba-tiba Golkar adalah partai pertama yang mendeklarasikan diri mendukung kekuasaan, mendukung Jokowi untuk maju sebagai presiden pilpres 2019,” sebutnya.
Adapun ciri toleransi terhadap kekerasan, kata Wijayanto, tercermin dari kasus penembakan mahasiswa Universitas Halu Oleo dalam gerakan #ReformasiDikorupsi dan kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.
Wijayanto menyebut Polri mengakui kesalahan dalam kasus mahasiswa UHO, tetapi hanya memberikan hukuman 21 hari penjara dan penundaan 1 tahun kenaikan pangkat pada pelaku. Sementara dalam kasus Novel, jaksa hanya menuntut pelaku penyiram air keras satu tahun penjara.
“Ini juga belum keluar keputusannya, tapi sudah mencederai keadilan publik. Ini toleransi terhadap tindakan kekerasan, seharusnya hukumannya lebih dari itu,” ujarnya.
Ciri keempat adalah pembatasan terhadap kebebasan sipil. Kriteria ini dicerminkan dalam kasus kriminalisasi sejumlah aktivis pro demokrasi, seperti Ravio Patra. Selain itu, ada ancaman terhadap diskusi-diskusi akademik, seperti diskusi soal pemakzulan presiden di UGM.
“Dari berbagai sign, kemunduran demokrasi Indonesia dan putar balik otoritarianisme yang paling kuat sebenarnya adalah sisi kebebasan sipil, pers, dan akademik,” ungkapnya.
Buruknya kebebasan sipil ini terlihat dengan peringkat Indonesia yang berada paling bawah di ASEAN, pada awal 2020. Skor Indonesia adalah 5,59, sedangkan Malaysia 7,06, Thailand 6,47, dan Srilanka 6,47.
“Jadi kita jauh di bawah mereka. Padahal kita mengukuhkan sebagai (negara) demokrasi,” katanya
Menurutnya, telah terjadi kesepakatan antara ilmuwan politik dari dalam maupun luar negeri bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran dari berbagai teori. (*)