Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy, Dekan FISIP UMJ
Sekitar dua tahun yang lalu, tepatnya tanggal 6 Juli 2018, di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) terkait riset penulisan disertasi sahabat Andar Nubowo, terjadi diskusi santai diselingi gelak tawa yang mengasikkan. FGD ini diikuti oleh beberapa sahabat NU dengan beragam varian, seperti Gus Mis (sebuatan yang mulai familiar untuk Zuhairi Misrawi), berasal dari NU Faksi Liberal dan PDI-P. Ada Gus Muhammad Aminuddin, berasal dari NU Faksi KH. Hasyim Muzadi. Termasuk juga Muhammad Ridho Rajo Bagindo, dari NU Faksi Garis Lurus. Juga hadir beberapa kawan dari Muhammadiyah, Maarif Institute, dan perwakilan Syiah.
Dalam diskusi santai tersebut ada bagian yang menarik ketika saya menyebut sebagai Gusdurian. Kontan dengan guyon yang mengelitik, Gus Mis bertanya: “Gusdurian kok bisa masuk PAN yang dipimpin Amien Rais?”.
Meski guyon, tapi sadar bahwa pertanyaan Gus Mis adalah pertanyaan serius. Saya pun menjawab dengan guyon pula bahwa sosok Gus Dur dan Amien Rais itu sama pentingnya buat Indonesia. Seni berpolitik Gus Dur dan Amien Rais kalau digabungkan dampaknya akan sangat dahsyat bagi Indonesia. Kira-kira begitulah jawaban singkat saya saat itu.
Karena diskusi santai maka tidak dibahas lebih jauh terkait Gus Dur dan Amien Rais. Diskusi beralih soal-soal ringan lainnya yang bikin gelak tawa, termasuk tertawa karena ada peserta FGD yang maksudnya ingin mengucapkan kata wasathiyah tapi berkali-kali pengucapannya menjadi mirip kata wasyaithaniyah.
Tulisan ini mencoba menuntaskan diskusi ringan menjadi tulisan yang sedikit serius soal Gus Dur dan Amien Rais.
Bagi saya, Gus Dur dan Amien Rais, selain tentunya Nurcholish Madjid (Cak Nur) adalah contoh tiga intelektual yang pada zamanya yang bisa saling mengisi kekosongan peran di antara ketiganya. Ketiganya sama-sama cerdas melebihi kecerdasan orang pada umumnya. Amien Rais dan Cak Nur adalah “Profesor resmi”. Sementara Gus Dur adalah orang yang kecerdasan dan keilmuannya layak disetarakan dengan Profesor.
Ciri umum orang cerdas itu terletak pada karakternya yang cenderung kontroversi atau nyleneh. Dan ketiganya juga dikenal tokoh atau cendekiawan yang nyleneh. Hal yang membedakan, nylenehnya Cak Nur dan Gus Dur lebih banyak mengarah pada penguatan wacana keumatan. Sementara nylenehnya Amien Rais lebih banyak mengarah pada penguatan praksis keumatan.
Entah sudah berapa kali Cak Nur menawarkan gagasan nyleneh, seperti gagasan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan perdebatan di awal 1990-an terkait dengan “Tiada tuhan selain Tuhan”. Gus Dur pun demikian, seperti menyebut pesantren sebagai “sub kultur”, “pribumisasi Islam”, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh diganti selamat pagi, siang atau malam”.
Kemudian, “keberanian” mengajak keliling LB. Moerdani ke beberapa pesantren pasca “tragedi berdarah” Tanjung Priok. padahal di saat yang sama kelompok umat Islam lainnya masih berduka dan marah atas sikap penguasa dan militer dalam kasus Tanjung Priok yang konon menurut sebagian sumber korbannya yang meninggal mencapai ribuan. Penerimaan NU atas asas tunggal Pancasila jauh sebelum (1983) UU Keormasan disahkan (1985). Pembelaan Gus Dur terhadap Tabloid Monitor yang dibredel rezim Orde Baru yang dinilai telah menyinggung umat Islam, sampai pada langgam Gus Dur saat “berhadapan” dengan rezim Orde Baru.
Baca juga: Ada yang Aneh dari Perdebatan Islam dan Politik di Indonesia
Sementara Amien Rais sangat gemar mengkampanyekan “tauhid politik”, sangat keras menyikapi kebijakan pertambangan di Indonesia, terutama yang terkait dengan Freeport. Dengan keberaniannya, bak orang yang urat takutnya sudah putus, Amien Rais berkampanye soal pentingnya suksesi kepemimpinan dengan bermodal makalah berjudul: “Suksesi 1998 Suatu Keharusan”.
Amien Rais juga kerap berhasil menciptakan polemik tentang sesuatu yang sebenarnya sama sekali bukan hal yang baru, seperti polemik “Partai Allah dan Partai Syaitan”. Polemik ini sudah muncul pada akhir abad ke-4 Masehi seiring munculnya tawaran pemikiran Santo Agustinus berupa “Negara Tuhan” dan “Negara Iblis”. Terkait “Tuhan malu kalau tidak menerima doa kelompok anti-Jokowi” juga banyak hadis yang bicara soal hal ini, di antaranya: Tuhan malu kalau tidak mengabulkan doa hambanya. Hambanya dalam konteks hadis tersebut tentu saja termasuk “kelompok anti-Jokowi”.
Kembali ke soal pertanyaan Gus Mis, bagi saya Gus Dur dan Amien Rais adalah dua sosok tokoh Islam yang saling melengkapi dalam spektrum yang lebih luas. Ibarat Abu Bakar dan Umar bin Khattab di era khulafaul rasyiddin, atau seperti KH. Wahab Hasbullah dengan KH. Bisyri Syamsuri di tubuh NU atau antara Lukman Harun dan Jasman Al-Kindi di tubuh Muhammadiyah.
Bila menyikapi perbedaan KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisyri Syamsuri warga Nahdliyyin tak ada masalah. Begitu pun menyikapi perbedaan Lukman Harun dan Jasman Al-Kindi di lingkup warga Muhammadiyah tak ada masalah.
Namun tidak demikian dalam menyikapi sosok Gus Dur dan Amien Rais. Padahal Gus Dur dan Amien Rais adalah bukan sosok yang kerap berhadapan secara langsung dalam sebuah polemik. Namun karena kedua sosok ini ditakdirkan lahir dari dua rahim organisasi Islam yang berbeda: Muhammadiyah dan NU (urutan sesuai tahun lahir dan abjad) dan kerap bukan hanya dipahami dan diposisikan berbeda, tapi juga berhadap-hadapan, maka menyikapi posisi Gus dur dan Amien Rais pun terkadang terjadi vis a vis warga Muhammadiyah dan NU. Padahal andai saja Gus Dur dan Amien Rais ditakdirkan lahir satu rahim organisasi, dipastikan penyikapannya akan berbeda.
Saya banyak belajar dari Gus Dur dan Amien Rais. Keduanya selain dikenal sebagai tokoh kontroversi, juga ada keteladanan yang jarang dimiliki oleh orang sekaliber Gus Dur dan Amien Rais. Amien Rais dan Gus Dur adalah dua sosok yang egaliter, paling mudah ditemui dan tidak secara berlebihan mempertontonkan sikap jaga image atau kerap disingkat jaimnya.
Saat menjabat sebagai Ketua PP. Muhammadiyah dan Ketua Tanfidziyah PBNU, Amien Rais dan Gus Dur adalah orang yang tidak sulit untuk ditemui di kantornya: di Menteng Raya 62 dan Kramat Raya 164. Untuk bertemu keduanya terkadang tak perlu janjian kalau sekiranya ada waktu, maka keduanya akan menerima siapapun yang hendak bertemu. Kalau hendak bertemu Amien Rais cukup bertemu Mas Ahsan Rivai, yang saat itu menjadi Sekretaris Eksekutif PP. Muhammadiyah. Sementara kalau hendak bertemu Gus Dur terkadang cukup bilang ke Pak Somad (sekuriti yang sudah sepuh yang berjaga di pos masuk kantor PBNU). Keduanya juga dikenal sosok yang paling mudah diundang untuk menyambangi umatnya di pelosok-pelosok desa.
Selama kuliah di Malang dan Surabaya, tercatat saya pernah mendatangkan Amien Rais ketika aktif di DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jatim untuk sebuah acara Seminar Nasional di Surabaya yang diadakan oleh DPD IMM Jatim. Pada tahun 1993, dalam kapasitas sebagai Ketua Pimpinan Komisariat (PK) IMM FISIP UMM, saya pun pernah mendatangkan Gus Dur untuk sebuah acara yang diselengarakan oleh PK IMM FISIP UMM. (*)