Saya mengajak saudara-saidaraku, ‘kahanggi’, saatnya kita bersatu untuk kejayaan ‘Popparan Ni Harahap, ”Tano Bona Pasogitta’.
Ini tentu tidak mudah, tapi lihatlah kondisi hari ini di legislatif, pemerintahan dan petinggi elit di Tapsel, apakah kita akan dijauhkan dari kekuasaan. Atau masih perlukah kita bicara marga dalam konteks politik pilkada?
Mempertanyakan posisi marga dalam kekuasaan, ada berapa marga harahap di pemerintahan yang menduduki jabatan di Pemkab Tapsel? Fakta tentang hal ini boleh dilihat dari data dari Sekda, eselon II, III, IV, dari 15 Camat dari 35 anggota DPRD, begitu juga DPRD Propinsi, DPR RI, pengusaha lokal dan nasional dan lainnya.
Selama ini, banyak yang melarang membawa-bawa isu marga ke arena politik praktis. Pertanyaannya, bisakah kita berpolitik tanpa menarik kekuatan identitas?
Tentu ini bukan isu primordialisme, sentimen marga, tapi kita sedang menjawab tantangan politik dan ekonomi di wilayah Tapsel yang didiami mayoritas marga-marga (dalihan natolu), dari dulu kita memberi rasa persaudaraan kepada siapapun yang datang lewat ‘perjanjian adat’. Tradisi menjaga daerah sebagai bumi “dalihan na tolu”.
Semangat kekeluargaan dan hidup rukun adalah cara raja-raja adat menjaga keharmonisan sosial.Tentu banyak yang keberatan kalau kita kuat dan bersatu. Atau ini mustahil? Betapa mudahnya ‘perpecahan’ dan ‘konflik’ dibangun karena desakan kepentingan sesaat demi menyelamatkan diri masing-masing. Masih adakah persatuan adat (masyarakat adat) di Tapsel?
Apakah semangat ini masih bisa diwujudkan di Tapsel? Kita tunggu instruksi dan ‘petuah’ raja adat yang selana ini belum bisa bersatu, apalagi mereka didengarkan. Mengejar ketertinggalan generasi kita yang tidak mampu bersaing, berkompetisi di arena kekuasaan dan timbulnya semangat baru pilkada tahun 2020 ini, terdorong oleh kuatnya ‘kekuasaan absolut’ para penguasa yang memperjuangkan kepentingan politik kekuasaannya dan pertarungan kehadiran investasi di Tapsel (apakah kita ikut melanjutkan pembangunan atau menjadi penonton?) Atau kita biarkan?
Berbagai riset dan kajian menyebutkan bahwa daerah kita Tapsel sangat pragmatis, sulit mempersatuan kekuatan marga, politik uang masih mendominasi setiap ajang politik, sikap ‘tak peduli’, identitas marga bukan alat perjuangan. Saya masih yakin bahwa tahun ini politik sudah mulai bergeser dan perlu dicerdaskan. Pendidikan politik untuk meningkatkan SDM, potensi masyarakat adat di daerah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mari kita kuatkan simbol “Bagas Godang” untuk menggerakkan semangat kita. Betapa sulitnya menolak politik identitas, tapi kita bukan anti marga salahkah kita berjuang lewat marga kita atau memperjuangkan marga di pilkada? Kita tetap menolak politisasi SARA (suku, agama, ras dan antar gologan).
Menjauhkan pemikiran primordialis, berjuang untuk kemajemukan, komunitas bersama, pluralitas (heterogenitas) di alam demokrasi Pancasila sebagai ideologi untuk menjaga rumah besar Indonesia dan kkususnya Tapsel sebagai rumah bersama. Sentimen akan selalu menguat jika ada yang dipinggirkan atau teralienasi dari arena kekuasaan. (*)
Suheri Harahap adalah Dosen UIN-SU dan Putera Tapanuli Selatan.