Oleh: Dr (Cand) Suheri Harahap MSi , Putera Desa Parsalakan, Calon Wakil Bupati Tapanuli Selatan
Desa Parsalakan tepatnya Dusun II Hutalambung Kecamatan Angkola Barat Tapanuli Selatan adalah desa yang terkenal dengan hasil salaknya. Salak sebagai mata pencaharian sehari-hari telah berjalan lebih dari satu abad.
Sebagai putra Angkola yang lahir tahun 1972, penulis tentu tidak banyak terlibat dengan peristiwa sejarah pada masa Belanda, Jepang, pemberontakan Simbolon, sejarah Benteng Huraba maupun sejaran Islam dari Minang Kabau ketika perang Padri. Akan tetapi cerita tentang perjuangan hidup masyarakat ini diceritakan oleh orang tua sejak kecil.
Penulis adalah anak yang lahir dari keluarga sederhana almarhum Kasman Harahap & almarhumah Asnaini Pohan, dari ayah seorang petani salak, veteran 45, mantan kepala desa telah membentuk karakter yang terpadu antara adat budaya “dalihan na tolu” dan Islam, sehingga disekolahkan di sekolah agama sampai perguruan tinggi.
Apa yang disebut Bung Karno dengan nation and character building, sesungguhnya sudah ada pada masyarakat Tapsel, dan secara ideologis menjadi semboyan yang diwariskan secara turun-temurun.
Pandangan hidup sebagai semboyan ini adalah cara orang tua mendidik anak-anaknya di Tapsel, tetapi dengan pesatnya hasil panen salak tahun 1970 an sampai 1980 an secara perlahan membuat anak-anak petani salak kurang bergegas menempuh di bidang pendidikan sehingga yang mau sekolah pun adalah atas kemauan sendiri, seleksi alam pun terjadi. Tak kelihatan adanya kompetisi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat pun tidak berbanding lurus dengan kesempatan meraih pendidikan. Waktu itu, kemanapun sekolah pasti sanggup orang tua membayar biayanya, tapi banyak anak2 desa harus berhenti di tingkat SMA/STM/PGA/dulu juga ada SGO atau pilihan lain adalah merantau.
Kehidupan di desa telah memberikan sebuah pandangan luhur ketika hidup antara kelompok masyarakat masih kuat budaya gotong-royong (marsialap ari), hidup berdikari tanpa ketergantungan malah dengan pemerintah misalnya dalam pembangunan (membangun jalan, listrik, air minum, mesjid dan lain sebagainya), ketika bersama pemerintahpun zaman Orde Baru ada kerjasama yang saling menguatkan dengan sistem gotong royong tadi. Inilah konsep Pancasila sesungguhnya dalam UUD 1945 jelas tugas pemerintah adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi segenap tumpah darah warga Tapanuli Selatan khususnya desa Parsalakan.

Mari kita wariskan nilai-nilai karakter budaya Angkola, sebab pembelajaran sebuah karakter kerja keras, disiplin dan mentalitas maju, pejuang, berani, pantang menyerah (tak mudah mandele/patah semangat, cepat putus asa) yang diperkuat dengan ajaran Islam (lama di desa ini perselisihan kaum muda dan kaum tua, agama dan adat sering dipertentangkan, sekarang sudah mulai berkurang dan hilang), dan pemerintahan desa dulu sangat kuat dengan sistem budaya dalihan na tolu, kemudian pembangunan dilakukan dengan swadaya dan gotong-royong. Inilah potret singkat kondisi desa ditengah pertumbuhan ekonomi rakyat menguat.
Adapun yang menjadi persoalan seiring perkembangan waktu, pada tahun 1980an dan 1990an telah terjadi perubahan potret sosial dikarenakan proses kebijakan negara oleh Bapak Soeharto waktu itu yang membuat program transmigrasi dari Jawa ke Sumatera dimana daerah Tapsel ada warga trans penduduk lokal dan suku Jawa (ada di Sosa, Natal), kemudian ditambah bencana Tsunami juga membawa perpindahan (migrasi) dari Nias dan Aceh ke Tapsel ( ada di Sipirok, Angkola Sangkunur, Angkola Selatan). Inilah cikal bakal pertambahan penduduk dari suku luar yang masuk ke Tapsel. Kehidupan sosial masih terjaga dengan baik di desa-desa.
Tahun 2000 an menjadikan desa menjadi sebuah pertarungan ekonomi-politik kekompok masyarakat, sudah mulai mempersoalkan tentang hak atas keadilan. Perebutan kekuasaan ekonomi dan politik akan mempengaruhi kelompok mayoritas dan selalu dianggap pintu masuk munculnya penguatan identitas kelompok termasuk kelompok marga di Tapsel. Dan di era ini pulalah isu desentealisasi dan Otonomi Daerah dan sistem Pilkada menguat.
Semoga Pilkada Tapsel kedepan adalah pertarungan ide dan gagasan untuk membangun Tapsel, mengevaluasi berbagai kebijakan yang ada dan menguatkan sistem demokrasi Pancasila. bukan pertarungan uang dan identitas.
Semua pihak menyadari tugas pemerintahan adalah amanah rakyat. Bercita-citalah sebagai bentuk kecintaan kepada kampung halaman dan masa depan generasi Tapsel yang kuat secara adat budaya dan agama seperti China, Jepang, Malaysia. Dari desa kita lahir, dari desa kita berkembang, dari desa kita bangkit. (*)