Oleh: Suheri Harahap SAg MSi, Putra Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan
Menguatkan budaya Angkola sebagai identitas sosial (social identity) ditengah gelombang kemajuan teknologi dan informatika yang membentuk ideologi baru masyarakat dunia maya (cyber community) dan post cultural (pasca identitas kultural) adalah suatu yang amat penting dan mendesak dilakukan. Kita sangat khawatir, kecenderungan perubahan itu semakin menggerus dan meruntuhkan pandangan ideologis-kultural masyarakat Angkola.
Ketidaksigapan budaya Angkola dalam menyikapi dan menyiasati laju perubahan dari luar membuat masyarakatnya mengalami pergeseran mentalitas dan pola pikir menjadi pragmatistik, identitas jadi semu dan tak mengakar serta timbulnya ketinggalan budaya (cultural lag). Dan faktanya, akselarasi perubahan sosial yang terjadi selama ini justru semakin menjauhkan identitas sebagai kekuatan positif melawan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Tapanuli Selatan, Bumi Dalihan Na Tolu.
Lantas, sebenarnya apa yang menyebabkan lemahnya identitas sebuah masyarakat adat? Dan keasadaran apa yang bisa menguatkan kembali munculnya gelombang perlawanan identitas yang terpinggirkan di arena politik dan ekonomi masyarakat adat Angkola Sipirok saat ini?
Penulis melihat, tentunya sudah menjadi tanggungjawab dan tugas bersama untuk terus menerus menanamkan nilai-nilai budaya Angkola dikalangan generasi muda. Dan ditengah kekhawatiran yang melanda, kiranya kita bisa berbangga masih ada tokoh adat yang membuat kegiatan lomba makkobar, lomba manortor, lomba lagu Angkola Tapsel, dan sebagainya.
Selain itu, mungkin perlulah kurukulum pendidikan memuat kembali budaya Angkola dan bahasa daerah. Mari hilangkan kebiasaan “umbahat kombur di lopo, minum tes manis martamba, marutang, dung matobang manyosal”.
Membangkitkan kembali identitas budaya Angkola sebagai kekuatan politik merebut kekuasaan adalah sebuah bentuk kesadaran baru dan keniscayaan yang mungkin bisa membawa secerca harapan akan perubahan di masa depan, terlebih jika dikaitkan dengan konstruksi atas kondisi saat ini, dimana telah terjadi pelemahan dan pemanfaatan kekuatan masyarakat adat sebagai alat kekuasaan semata (kooptasi politik praktis).
Inilah dasar awal untuk mengubah mindset dan cara pandang sebagai paradigma baru masyarakat adat Angkola-Sipirok untuk bersatu.
Disamping itu, terdapat juga semacam bentuk keterpecahan jiwa (split personality) raja-raja adat di desa-desa (Raja Pamusuk) yang melihat pembangunan (dana desa, APBN, APBD, CSR dan lainnya) –yang seharusnya diperuntukkan untuk peningkatan perekonomian rakyat– masih sebatas kemajuan retorik yang dipasang untuk sebuah pencitraan dan alasan untuk merebut penghargaan dan kepentingan kelompok. Dengan kata lain, belum mampu menguatkan hal yang mendasar sebagai hak hidup warga masyarakat adat yang dicita-citakan.
Saatnya lahir sebuah kesadaran baru masyarakat adat Angkola Sipirok yang progresif dan humanis, yang berjuang demi mengentaskan ketertinggalan, kemiskinan, kebodohan serta mentalitas yang lemah secara ekonomi dan rendah secara politik. Sebab kebijakan publik (public policy) yang dibuat selama 10 tahun terakhir akan terjawab oleh masyarakat adat itu sendiri sebagai pilar yang menjaga kedaulatan tanah air, tanah tumpah darah pejuang seperti sejarah Benteng Huraba, daerah Tapanuli Selatan yang kuat secara agama dan budaya.
Perubahan sikap mental masyarakat Tapsel harus dimulai dengan bekerja keras bagi pelajar dan mahasiswa. Mereka harus memiliki etos belajar yang keras seperti Kinjiro di Jepang, dimana orang tuanya miskin tidak mampu membeli minyak tanah untuk penerangan belajar di malam hari, sehingga Kinjiro terpaksa mencari kayu dihutan untuk dijual sambil tetap bawa buku untuk dibaca sambil belajar, sehingga akhirnya dia menjadi orang yang berhasil. Muda-mudahan kisah Kinjiro itu bisa menginspirasi masyarakat Tapsel untuk menyongsong masa depan yang lebih maju dan bermartabat.
Apa yang bisa mempersatukan kita sebagai bangsa dan daerah sekarang ini adalah nilai-nilai Pancasila dan adat budaya Dalihan Na Tolu. Akan tetapi pada saat yang sama muncul juga kegelisahan masyarakat adat atas kejanggalan terhadap pengelolaan pemerintahan, SDM, SDA, dan kondisi rapuhnya ekonomi masyarakat dan tak mampu berbuat apa-apa. Ditambah lambatnya kehadiran pemerintahan daerah dalam pengelolaan konflik horizontal dan vertikal seperti yang dirasakan masyarakat adat dengan investor tambang emas, PLTA dan perkebunan ANZ, MIR, maupun etnis pendatang seperti suku Nias terkait pengelolaan hutan lindung dll.
Paradigma baru ini harus kita wujudkan secara bersama-sama seluruh stakeholder, pemangku kepentingan untuk lahirnya konsensus baru Tapanuli Selatan dengan menguatkan kemajuan pendidikan yang berbasis sosial budaya demi mempertahankan keberlanjutan sebuah generasi Angkola.
“Program 1 KK 1 sarjana, 1 desa 1 master dan doktor” adalah gagasan cemerlang dan realistik yang layak kita agendakan kedepan. Cita-cita dan impian mulia itu tentu bisa kita realisasikan dengan langkah-langkah konkrit, seperti menggalakkan program beasiswa S1, S2 dan S3 bagi putra-putri Tapsel. Kelak, mereka inilah yang mengisi bidan desa, kepala desa, pusat kesehatan desa, rumah sakit, sekolah, partai politik, birokrasi, pedagang, pengusaha muda, buruh profesional tambang dan perkebunan di Kabupaten Tapanuli Selatan yang kita cintai.
Kita harus mencontoh Negara-negara lain, seperti Jepang, Cina, Malaysia dan sebagainya yang kuat agama dan budayanya. Ada semboyan Jepang misalnya tentang belajar bagi pelajar dan mahasiswa “belajar keras diterima bukan sebagai beban tetapi dinikmati sebagai pengabdian”.
Jadi kita harus lebih keras di semua kehidupan. Belajar keras bagi pelajar, mahasiswa, kerja keras bagi petani sawah, karet (pangguris), petani aren (paragat), buruh pabrik, peternak ikan, bebek, sapi, guru (negeri/swasta) dan seluruh warga daerah di pelosok desa. Desa kita adalah ‘Banua Nasonang” . Jika kita tak punya ilmu, maka pandangan tentang alam seperti mitos. Dengan ilmu alam di eksploitasi untuk keperluan manusia, dengan agama alam akan terjaga agar manusia tidak sombong dan rakus.
Generasi Angkola (naposo/nauli bulung) jangan lagi jadi penonton saja, apalagi di bumi napa-napa ni sibual-buali dan lubuk raya. Cerita masa lalu bukan hanya ungkapan indah, tapi motivasi kuat bagi kita hari ini. Mari bersatu menuju kebangkitan Tapsel, Marsipature Hutana Be dohot Marsipature Ate-Ate Na Be ( hilangkan sifat gut-gut (iri dan dengki), serta bangun visi bersama kita maju dan kuat. Wassalam, Horas! (*)