Seorang jurnalis bertanya kepada saya kemaren: “sore pak, saya mau minta tanggapan dikit soal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serdang Bedagai (Sergai) yang bakal digelar mendatang.
Dua pasangan petahana yakni Bupati Sergai Soekirman dan Wakilnya Darma Wijaya atau beken disapa Wiwik justru bakal bakal menjadi lawan dalam pilkada mendatang.
Padahal keduanya telah melakukan safari politik dan bersama-sama mendaftar sebagai bakal calon bupati dan wakil bupati sergai periode 2020-2025 ke beberapa partai yakni Nasdem, PDIP dan Hanura.
Namun tiba-tiba Wiwik putar haluan. Ia lantas mengincar kursi Bupati Sergai didampingi wakilnya Adlin Tambunan yang saat ini menjabat Ketua Anshor Sumut.
bagaimana menurut bapak soal Soekirman dan Wiwik yang dulu berkawan sekarang lawan ? apakah ini nantinya akan menjadi politik panas atau gimana? terimakasih.”
Meskipun ini informasi terbaru tentang dinamika Pilkada Kabupaten Sergai, tetapi saya dapat memastikan bahwa kejadian serupa bukan hal yang terlalu aneh dalam politik Indonesia.
Kita ingat menjelang Pilgubsu terakhir HT Erry Nuradi yang sudah berkomitmen berpasangan maju menggandeng Ngogesa Sitepu malah tidak hanya gagal berpasangan, bahkan keduanya tidak ada dalam kontestasi.
Dari segi bobot mereka berdua sangat kuat secara teoritis karena selain keduanya adalah Ketua Partai, salah seorang di antaranya (HT Erry Nuradi) adalah gubernur aktif waktu itu dan, sekali lagi, secara teoritis sebagai petahana dianggap memiliki peluang.
Seorang lain yang juga Ketua partai (PD), JR Saragih juga gagal maju bersama Ance Selian. Rakyat Sumut hingga hari ini tidak tahu mengapa pasangan ini gagal maju. Ini masuk ranah hukum yang memperburuk indeks demokrasi Sumut.
Dalam kasus Sergai hari ini dapat disimpulkan bahwa Soekirman terancam gagal beroleh iklim dan menikmati kesetiaan seorang wakil sebagaimana ia lakoni menjadi Wakil Bupati selama dua periode dengan penuh kesetiaan mendampingi HT Erry Nuradi.
Lain orang lain pula sikap. Wiwik yang ingin memimpin sergai ke depan meski sudah pernah mendaftar ke berbagai partai bersama Soekirman menunjukkan ada sejumlah masalah. Kemungkinan di antaranya adalah:
Pertama, Wiwik merasa telah mengukur dengan benar popularitas dan elektabilitas serta sumberdaya politik yang kesimpulannya ia yakin bisa menyaingi Soekirman dalam rivalitas ini. Karena itu ia ingin capaian optimum dari target jabatan yang diperebutkan (Bupati). “Kalau bisa menjadi Bupati mengapa harus menjadi Wakil Bupati?”
Kedua, tentu saja Wiwik tidak akan bertindak seperti itu jika belum yakin dapat membuat komitmen baru dengan partai, di pusat dan di daerah.
Lalu jurnalis itu melanjutkan dengan sebuah pertanyaan baru demikian “dengan majunya Wiwik menjadi lawan Soekirman apakah bisa membuat hubungan mereka berdua tidak harmonis? dan apakah ini berarti Wiwik terlalu berambisi untuk menjadi orang nomor satu disergei pak?”
Saya kira semua orang perlu diingatkan bahwa dalam politik hal seperti yang ditanyakan oleh jurnalis itu kelihatannya lazim-lazim saja. Semua ditentukan oleh kepentingan. Jadi, hubungan dslam dunia politik itu selalu didasarkan kepada kepentingan. Itu tidak aneh dalam tradisi politik, tak terkecuali di Indonesia.
Soal ambisi juga sama, adalah juga hal yang biasa dalam politik. Soekirman maju jadi Cawagubsu mendampingi Gus Irawan saat masih menjabat sebagai Wabub Sergai. HT Erry Nuradi pada saat yang sama menjadi Cawagub mendampingi Gatot Pujonugroho yang kala itu maju dalam kapasitas sebagai petahana.
Usai pilgubsu keduanya beroleh posisi baru. HT Erry Nuradi dilantik menjadi Wagubsu dan Soekirman menjadi Bupati. Saat itu tidak ada orang yang menuduh mereka berdua ambisius. (*)
Penulis dosen FISIP UMSU