TAJDID.ID || Pakar Filsafat Pancasila Prof Dr Suteki SH MHum mengatakan, bahwa kebebasan – termasuk kebebasan berpendapat – itu adalah ruhnya demokrasi. Atau kalau dibalik berarti tanpa kebebasan demokrasi itu akan mati.
“Pertanyaanya, apakah kita sekarang ini kita masih berada di era demokrasi?”, tanyanya ketika tampil sebagai pembicara di sesi diskusi Webinar Nasional yang bertajuk ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19 yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Kolegium Jurist Institute (KJI), Senin (1/6/2020).
Merujuk pendapat Ian Dallas dalam bukunya “The Entire City”, Suteki menyebut masa sekarang ini sepertinya bukan lagi masa demokrasi. Dallas menyebutnya kita itu sekarang berada di era oklokrasi, dimana sebuah Negara itu dikendalikan oleh “kaum perusak”, yaitu mereka yang menguasai head of state di seantero dunia.
“Siapa mereka? Bisa bankir, bisa investor, bisa penguasa kapitalis dan sebagainya,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Undip Semarang ini.
Menurut Suteki, Dallas menyebut bahwa sekarang bukan lagi era demokrasi, karena ia melihat kebebasan berpendapat sebagai salahsatu ciri dari demokrasi sedang berjalan tidak baik.
“Artinya, kalau memang demokrasi harusnya nir-intimidasi dan nir-ancaman dan nir-persukusi,” katanya.
Ia juga menyeteir pandangan Steven Levitsky and Daniel Ziblatt dalam buku “How Democracies Die” yang menjelaskan bagaimana demokrasi itu bisa mati. Dalam buku itu, kata Suteki, disebutkan salahsatu penyebab demokrasi itu mati adalah ketika otoritarianisme itu justru diproduksi oleh penguasa demokrasi. Itu bisa dalam bentuk peraturan perundang-undangan guna menyelamatkan sistem kekuasaan atau status quo rezim penguasa.
“Jika kebebasan pendapat terpasung oleh intimidasi dan persekusi seperti misalnya yang terjadi di Yogyakarta baru-baru ini, maka sebenarnya demokrasi kita sedang menuju pada senjakalanya atau menuju kepada lonceng kematian demokrasi itu sendiri,” sebutnya.
Terkait kebebasan kampus, Suketi menyebut ada 3 macam otonomi yang mengikat kemandirian dan kebebsan kampus itu, yakni otonomi keilmuan, otonomi kebebasan akademik dan otonomi kebebasan mimbar akademik.
“Tiga hal ini sangat tergantung pada persoalan apa otonomi perguruan tinggi itu otonom atau tidak, khususnya di Perguruan Tinggi Negeri,” katanya.
Dibeberkannya, sejak PTN menjadi Badan Layanan Umum kemudian juga berubah menjadi PTN BH, hegemoni kekuasaan dalam arti pemerintah itu tampak sangat tinggi, terutama dalam hal menentukan siapa Rektor yang terpilih. Karena ada akses yang cukup besar yang dimiliki oleh menteri terkait, dimana ia punya suara 35% dalam pemilihan senat .
“Jadi yang nomor satu itu tidak jaminan dia akan terpilih secara demokratis Rektor, tapi bisa jadi yang nomor 2 atau bahkan terakhir yang akan menjadi Rektor. Menurut saya ini bukan praktik yang demokratis, disini perguruan tinggi sendiri tidak memberikan contoh yang baik bagaimana berdemokrasi yang benar,” tukasnya.
Lantas, lanjut Suketi, jika otonomi perguruan tinggi itu bermasalah, bagaimana mungkin kemudian ada otonomi keilmuan. Otonomi keilmuan yang dimaksud adalah pengembangan keilmuan melalui pendidikan, pengajaran, penelitian sampai pengabdian mestinya harus terbebas dari segala ancaman, intimidasi dan pengaruh dari pemerintah, LSM , masyarakat atau investor yang lain.
Jadi, kata Suteki, kampus itu harus otonom betul. Ketika itu tidak ada otonomi keilmuan, maka sulit bisa melakukan kebebasan akademik.
Terkait hal ini, kata Suteki, bisa dilacak dari deklarasi 5 tahun 1988 yang menyebutkan kebebasan akademik itu sebagai kebebasan dari anggota kampus, termasuk civitas akademika baik secara individual atau secara kolektif dalam menyampaikan, mentransfer ilmu pengetahuan melalui penelitian, kreasi, pengajaran, termasuk dalam hal penelitian dan juga penulisan.
Begitu juga dalam statuta Universitas disebutkan bahwa bagaimana seorang akademikus itu mempunyai hak untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai segala sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmu yang lain.
Kemudian, lanjut Suteki, ketika otonomi akademik tidak ada, maka kebebasan mimbar akademik yang dimiliki mahasiswa, dosen maupun guru besar akan terancam. Diungkapakannya, hal itu telah ia alami ketika ia mengkritisi Perpu Nomor 2 Tahun 2017 secara terbuka, dimana ia mengatakan tidak setuju dengan Perpu ormas itu.
“Bermula dari kasus inilah kemudian saya mendapat stempel dari penguasa setempat . Saya dikatakan tidak setia kepada pemerintah karena status saya PNS. Lantas tudingan itu saya jawab; betul saya itu ASN, tetapi saya bukan ASP (Aparatur Sipil Pemerintah). Saya katakana, pemerintah boleh berganti, tetapi kan ASN tidak akan terganti sampai pensiun,” tuturnya.
Jadi kata Suteki, mulai dari itulah ia dikatakan tidak setia pada pemerintah dan telah melanggar PP nomor 53 Tahun 2010 yaitu tentang disiplin pegawai negeri .
Parahnya, kata suteki, ia dinilai melakukan pelanggaran berat, lalu ia diberhentikan dari ketua Prodi Magister Ilmu Hukum, Ketua Senat Fakultas Hukum dan itu sebagai anggota Komisi 4 senat Universitas.
“Itulah pengalaman saya. Jadi ternyata memperjuangkan persoalan yang menurut saya itu benar tidak gampang, meskipun itu dilingkungan akademi. Walaupun dengan kapasitas dan reputasi sebagai guru besar, tidak jaminan aman melakukan kebebasan mimbar akademik,” ungkapnya.
Webinar Nasional yang pandu Auliya Khasanofa (Sekjen MAHUTAMA) kali ini merupakan webinar MAHUTAMA yang paling banyak mendapat perhatian publik. Animo masyarakat yang ingin berpartisipasi langsung dalam webinar kali ini sangat luar biasa.
Informasi yang didapat TAJDID.ID dari penyelenggara, jumlah peserta yang mendaftar dalam acara ini lebih dari lima ribu orang. Namun dikarenakan keterbatasan, peserta aktif yang bisa diakomodir cuma sekitar3 ribu orang.
Namun bagi yang belum bisa terakomodir, panitia menyediakan live streaming lewat channel youtube MAHUTAMA yang sampai berita ini diturunkan sudah ditonton lebih dari 26 ribu viewer. (*)
Baca Juga: