Oleh: Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU, Koordinator n’BASIS
Si Pitung dan Si Jiih dalam cerita rakyat Betawi adalah penjahat yang harus dibunuh menurut pandangan penjajah Belanda karena sangat sering mengganggu. Padahal tak ada alasan bagi keduanya untuk berbuat sesuatu jika rakyat tidak disakiti (oleh penguasa). Kemenangan Belanda tentulah karena ia bisa menguasai tidak saja opini, bahkan kebijakan strategis di sebuah Negara jajahan. Bukan tidak ada kalangan pribumi terjajah itu yang merasa lebih nyaman memihaki Belanda pada waktu itu, dan ketika penjajah ini diusir kegalauan para pengkhianat tak terbendung dan malah memohon untuk dijajah kembali. Fenomena ini memang khas negara-negara jajahan.
Di Indonesia bukan cuma ada kalangan yang menautkan diri di bawah penamaan Islam dalam sebuah organisasi yang bukan agama itu sendiri, seperti FPI. Untuk semua agama hal serupa ada. Di mana salahnya semua itu? Naifkah untuk ukuran zaman ini sebuah komunitas mengidentifikasi diri sebagai kelompok afiliasi keagamaan tertentu? Sayangnya dunia memang sering tidak adil. Katakanlah tentang sebuah tuduhan, yakni fundamentalisme. Barat kerap yakin bentuk keagamaan yang saling bertentangan dan sekali-sekali diwarnai kekerasan yang dikenal sebagai fundamentalisme itu cuma ada pada Islam. Ini memang sebuah kesewenang-wenangan yang bersumber pada berbagai nilai rujukan modern yang kurang lebih memosisikan Barat sebagai pemegang otoritas tertinggi untuk klaim setiap kebenaran.
Jika fundamentalisme adalah fakta global untuk semua agama yang berhadapan dengan modernisasi, maka pertanyaanya ialah bukankah semua orang religius ingin mereformasi tradisi dan mencari tempatnya dalam budaya modern? Saat cara-cara moderat dianggap tidak membantu, beberapa menggunakan metode yang lebih dianggap oleh sebagian orang sebagai ekstrim. Saat itulah dianggap gerakan fundamentalis telah lahir. Menurut William Montgomery Watt fundamentalisme adalah istilah Inggris kuno kalangan Protestan untuk penyebutan khusus orang yang berpandangan al-Kitab harus diterima secara harfiah. Istilah sepadan dalam bahasa Perancis ialah integrism, yakni kecenderungan senada tetapi tidak dalam pengertian yang sama di kalangan Katolik Romawi. Watt mendefinisikan kelompok fundamentalis Islam adalah muslimin yang sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh.
Obsesi FPI
Banyak pendapat dan komentar yang mencerminkan kekurang-fahaman tentang FPI. Berikut ini petikan dari situs resmi FPI (download 28/07/2013). Posisi FPI diklaim menjadi semacam pressure group untuk mendorong berbagai unsur pengelola negara agar berperan aktif memperbaiki dan mencegah kerusakan moral dan akidah umat Islam, serta berinisiatif membangun suatu tatanan sosial, politik dan hukum yang sejalan dengan nilai-nilai syariat Islam. Kehadiran FPI erat kaitannya dengan ketidak-adilan yang dialami umat Islam serta gerakan-gerakan lokal dan global yang mengancam nilai-nilai akidah (keimanan). Upaya pembelaan secara terorganisasi dianggap mendesak karena globalisasi sudah menjelma menjadi penjajahan gaya baru, melalui upaya-upaya pemaksaan sistim politik, budaya dan sosial yang melanda bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Upaya-upaya pengrusakan dari dalam sendiri perlu dihadapi dengan tegas, misalnya pembiasan makna pluralitas atau upaya liberalisasi ajaran Islam. Islam sangat menghargai pluralitas dalam hubungan sosial antar berbagai bangsa termasuk hubungan sosial antar umat beragama, namun menolak tegas pluralitas agama yaitu upaya-upaya mencari kesamaan prinsip di antara berbagai agama yang ada. Toleransi antar umat beragama hendaknya difokuskan pada upaya-upaya mencari pola untuk saling menghormati atas perbedaan tanpa rasa permusuhan, dan ini jelas terkandung dalam Al-Qur´an.
Di Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas muslim, sudah sewajarnya posisi tawar umat Islam lebih besar. Posisi tawar yang besar ini diterjemahkan dalam bentuk hak kolektif umat Islam yang lebih signifikan, antara lain hak untuk memiliki lingkungan sosial yang bersih dari berbagai penyakit masyarakat, seperti pornografi, perjudian, narkoba dan lain-lain. Adalah wajar pula sebagai mayoritas bila umat Islam mewujudkan hak kolektifnya dengan menuntut pemerintah mengadopsi sebagian dari nilai-nilai ajaran Islam (Syariat). Harus dipahami bahwa sistem hukum dan politik di Indonesia yang cenderung sekuler secara nyata telah membuat sebagian dari nilai-nilai ajaran Islam tidak terakomodasi dalam perangkat hukum negara. Bahwa seorang pencuri harus dihukum memang telah sejalan dengan sebagian nilai-nilai ajaran Islam, tapi bahwa pelacuran harus dilarang dapat terhadang oleh pasal-pasal hukum yang multi-persepsi. Dalam ruang yang kurang tersentuh pasal-pasal hukum inilah FPI melakukan berbagai pendekatan solusi agar nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan secara lebih komprehensif. Penyakit masyarakat yang bersifat struktural, misalnya industri pornografi atau perjudian, harus dihadapi secara tegas baik dengan pendekatan hukum maupun tekanan-tekanan politis. Pembiaran terhadap kejahatan sosial semacam ini berpotensi membuahkan berbagai bentuk penyakit masyarakat yang pada akhirnya akan merusak berbagai sendi nilai-nilai moral dan bahkan akidah umat Islam. Segala bentuk kejahatan sosial yang bersifat struktural adalah ruang gerak yang menjadi prioritas FPI untuk dihadapi secara struktural pula. Posisi FPI lebih bersifat sebagai anggota masyarakat yang membantu para penegak hukum melalui informasi, dukungan langsung, tekanan-tekanan (pressure) politis dan tuntutan melalui jalur hukum. Semakin baik kualitas hukum dan komitmen penegakan hukum dilakukan, maka semakin berkurang beban FPI dalam memperjuangkan visi-misinya, dan semakin kurang pula keterlibatan FPI dalam mengawasi berbagai pelanggaran hukum. Motif untuk memperjuangkan syariat Islam adalah langkah yang sah, sedangkan aksi-aksi untuk memperjuangkannya diupayakan untuk tetap tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia.
Siapa Berniat Membubarkan FPI?
Banyak catatan tentang FPI yang bagi kalangan tertentu lebih disukai untuk menyebut brutalitas saat mereka melakukan protes terhadap apa saja yang mereka anggap sebagai kebijakan dan kegiatan sesat dan sarana maksiat yang perlu segera dihentikan. Isyu miring pun sering muncul seperti FPI dibayar atau FPI dipelihara oleh kalangan tertentu. Bahkan tuduhan menerima suap dari pihak-pihak yang melembagakan kemaksiatan pun tidak sepi.
Kekerasan FPI di lapangan selalu dilihat sebagai primacausa. Padahal FPI itu hanyalah reaksi belaka. Memang sangat diperlukan kesediaan untuk berfikir jernih agar semua kejadian hilir tidak dianggap menjadi pokok masalah sedangkan masalah hulu dilupakan atau malah sengaja ditutupi. Si Pitung dan Si Jiih dalam cerita rakyat Betawi adalah penjahat yang harus dibunuh menurut pandangan penjajah Belanda karena sangat sering mengganggu. Padahal tak ada alasan bagi keduanya untuk berbuat sesuatu jika rakyat tidak disakiti (oleh penguasa). Kemenangan Belanda tentulah karena ia bisa menguasai tidak saja opini, bahkan kebijakan strategis di sebuah Negara jajahan. Bukan sedikit jumlah kalanga pribumi terjajah itu yang merasa lebih nyaman memihaki Belanda pada waktu itu, dan ketika penjajah ini diusir kegalauan para pengkhianat tak terbendung dan malah memohon untuk dijajah kembali. Fenomena ini memang khas negara-negara jajahan.
Kerusuhan Kendal pekan lalu agaknya menjadi semacam pemicu yang lebih bergaung nasional ketimbang aksi-aksi yang dilakukan FPI sebelumnya. Entah karena design tertentu kerusuhan itu telah memposisikan Habib Rizieq dengan Presiden SBY hadap-hadapan dalam ketegangan. Terasa ada upaya untuk mendorong agar SBY menggunakan kekuasaan membubarkan FPI, apalagi dengan telah diundangkannya revisi UU Keormasan. Memang tidak tanggung-tanggung. Dalam pidatonya yang diberitakan media, Habib Rizieq disebut menuduh SBY dengan berbagai tuduhan tak sedap.
Gegap-gempita kegembiraan yang begitu puas terlihat dari kalangan yang oleh FPI selalu disebut kaum liberalis. Menurut Juru bicara FPI Munarman, kaum liberal ini memang merasa dirinya paling benar dalam kesukaannya mengklaim pendapat mayoritas rakyat. Mereka ingin mengatur Negara dan itu tak boleh dianggap salah. Berbeda jika FPI atau umat Islam yang ingin mempengaruhi Negara. Itu dianggap haram. Kaum liberal tidak fair dan dianggap selalu bersembunyi di balik slogan HAM dan pluralitas.
Dalam tataran pergaulan internasional gejala yang semisal FPI ini memang kerap bisa dianggap sebuah agenda penting untuk target deradikalisasi dan kurang lebih dianggap bagian-bagian yang terhubung dengan terorisme. Sama halnya dengan terorisme, pembiayaan internasional dianggap sangat penting untuk mendorong berbagai Negara yang diperlukan untuk menegaskan permusuhannya terhadap kaum radikal.
Dalam definisi resmi RAND Corporation yang berpangkalan di Amerika Serikat, deradikalisasi itu bersasaran semua orang yang memiliki pikiran dan apalagi kegiatan dan rencana menghidupkan syariah dan daulah Islamiyah. Dengan peta itu tentu semakin dapat difahami kaitan-kaitan global permusuhan terhadap gerakan FPI dan yang sejenisnya di Indonesia dan di mana pun juga.
Memang terasa janggal dalam alam demokrasi ketika kemauan mayoritas rakyat yang disepakati melalui cara-cara demokratis pun harus disesali. Periksalah catatan-catatan yang menghinakan dari kaum liberal terhadap beberapa perda syairah dan khususnya qanun yang dibuat di Aceh. Semua itu produk demokrasi, dan jika demokrasi itu memiliki rumus “to do what we want”, maka alasan apa mencaci orang yang mempersiapkan dirinya sesuai dengan kehendak dan cita-cita luhur masyarakatnya meski itu dalam bingkai NKRI? Kaum liberal yang mengaku “raja” demokrasi nyata-nyata sudah kehilangan salah satu unsur terpenting demokrasi, yakni toleransi.
Penutup
Ada sisi penting lain jika dikatakan bahwa membubarkan FPI sebuah kenaifan. Tidak ada relevansi eksistensi FPI jika hukum sudah tegak, dan ini pasti sangat disadari oleh semua orang FPI. Jika karena ulah lapangan oknum FPI yang dianggap membuat keresahan masyarat lantas organisasinya harus dibubarkan tentulah banyak organisasi dan bahkan partai politik yang begitu buruk harus dibubarkan terlebih dahulu sebelum membubarkan FPI.
Indonesia juga mencatat kekerasan begitu inheren dalam tradisi politik dan pemerintahannya, termasuk dalam tradisi organisasi-organisasi fascistic yang mungkin diwarisi sejak zaman Jepang hingga kini. Artinya negara juga harus bersedia evaluasi diri mengapa begitu naif membiarkan sumber-sumber kekerasan, termasuk kemiskinan sebagai alasan terkuat untuk aksi-aksi kriminalitas. Berapa banyak yang harus dibubarkan atau bagaimana menemukan alasan bahwa pembubaran itu hanya untuk FPI karena hanya ia yang berani melabrak maksiat?
Atau coba saja dihitung, berapa lagi sisa pejabat Indonesia yang masih memantangkan korupsi. Apakah dengan begitu Indonesia juga dianggap harus bubar karena sudah tak terperikan kerusakan akibat korupsi para pejabatnya?
Naskah ini diiterbitkan pertamakali oleh Harian WASPADA, Medan, Rabu 31 Juli 2013 hlm B7