Oleh: Satriansyah Den Retno Wardana, Mahasiswa Fakultas Hukum UMSU
Pembuka Diskursus
Pada era ini, terlebih lagi dalam hangatnya kontestasi politik dunia, khususnya di Indonesia. Perbincangan tentang agama dan negara menjadi diskursus yang strategis. Mungkin saja hal ini disebabkan karna, diskursus agama dan negara secara konkret akan menghasilkan keuntungan elektoral tertentu bagi salah satu kubu petarung politik.
Dalam diskursus tersebut, pembahasan seakan menghasilkan paradigma bahwa agama adalah ‘ibu kandung’ negara yang dapat dimaknai bahwa agama adalah sumber dari tuntunan kehidupan politik. Disisi lain, agama juga cenderung di arahkan menjadi ‘anak tiri’ yang dapat dimaknai bahwa agama sama sekali tidak boleh menyatukan diri dengan politik.
Persoalan semacam ini tak hanya melanda Indonesia, negara-negara di Eropa juga pernah merasakan iklim pertarungan eksistensi agama dengan negara. Peristiwa inila yang menjadi asbabun nuzul nya ideologi sekulerisme. Yang pada masa itu diawali denga revolusi rakyat Eropa yang menentang pihak agama dan gereja yang bermula dengan pimpinan Martin Luther, Rossieu dan Sinoza. Yang akhirnya Prancis menjadi negara pertama yang dibangun dengan sistem pemerintahan tanpa intervensi agama pada tahun 1789 M. Dan peristiwa yang amat kental terkait munculnya sekulerisme adalah disebabkan mosi tidak percaya masyrakat Eropa kepada agama Kristen pada abad 15, yang beberapa abad lamanya membawa masyarakat Eropa tenggelam kedalam ‘The Dark Age’.
Dalam dunia Islam, ideologi sekularisme juga pernah menerpa. Pada kurun ke-20, Turki menjadi negara pertama yang mengamalkan ideologi ini dibawah kepemimpinan Mustafa Kamal Artatruk. Yang selanjutnya menular ke negara islam yang lain, seperti Mesir, Algeria, Tunisia dan lainya. Dan pada dewasa ini, Indonesia seperti kembali merasakan hawa sekulerisme yang mulai muncul di tengah-tengah perpolitikan Indonesia. Yang pada hakikatnya, menunjukan sikap alergi terhadap agama.
Hal ini harus menjadi diskursus penting dalam peta pemikiran aktivis islam, dikarenakan masa depan aktivis islam adalah negara yang non-sekularisme. Hal ini sangat kentara diprediksi, sebab segala khazanah pengetahuan islam yang di pelajari aktivis islam akan menjadi landasan berfikir seorang stake holder pada masanya nanti. Jika bangsa dan negara ini sudah menjadi negara sekuler, jelas saja segala ilmu dan pengetahuan islam akan berubah menjadi benda arkeologis yang tertimbun pemikiran barat sekuler. Padahal sesungguhnya, islam sudah sangat banyak menyumbangkan pemikiran-pemikiran tentang ilmu poltik dan pemerintahan (syiasah), yang digunakan di negara-negara di dunia. Pertarungan ini dapat saja di menangkan oleh sekulerisme, jika aktivis islam tak mampu menuangkan konsep islam kedalam gelas pemikiran masyarakat. Maka dari itu, makalah ini akan memberikan pemaparan diskursus pemikiran tentang kekayaan budaya islam tentang pemerintahan yang harus tetap di pertahankan di tengah badai sekularisme ini.
Pada tulisan ini, digambarkan tentang bagaimana kondisi hubungan antara islam dan negara (politik) dari berbagai sumber yang berasal dari penjuru negri, digambarkan dengan cara mengulas sejarah islam sampai kemasa pra-modern, kemudian memaparkan tentang esnsi dari ajaran islam tentang politik yang meskipun disajikan melalui pemikiran beberapa tokoh asing dan nasionalis-agamis Indonesia, kemudian di bagian akhir di paparkan sejumlah rekomendasi posistif-konstruktif bagi pemikiran politik islam untuk kelangsungan hidup politik islam.
I. Kondisi Fluktuasi Hubungan Islam dan Negara di Tengah Ideologi Sekularisme.
Islam dan Negara
Konsep Ibn Taimiyah tentang konsep mengenai kebutuhan manusia akan negara didasarkan pada akal dan hadist. Argumen rasionalnya terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung, bekerjasama dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut agama atau tidak. Argumen rasional itu juga di perkuat dengan beberapa landasan hadist dan sunah nabi yang menekankan akan pentingnya kepemimpinan dan pemerintahan. Contohnya adalah sabda; “Bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka selayaknya salah satu diantara mereka menjadi pimpinan,” dan juga sabdanya “60 tahun dibawah tirani lebih baik dari pada satu malam tanpa pemerintahan” kemudian “ Sungguh, Allah pasti suka jika tiga hal berikut dapat terwujud; kamu menyembah dan tidak pernah menyekutukan-Nya, kamu mengikatkan diri erat-erat pada tali Allah dan kamu memberikan saran kepada siapapun yang ditunjuk Allah untuk memimpinmu”.[1] Kemudian Ibn Taimiyah menyimpulkan bahwa praktek pengukuhan pemerintahan adalah tugas agama yang mesti diatuhi setiap muslim disamping sebagai sarana agar manusia lebih berkesempatan mendekatkan diri kepada Allah.[2]
Memang, istilah negara (dawlah) tidak disinggung dalam Quran maupun Sunah, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat di temukan dalam kitab itu.[3] Namun Quran menjelaskan seperangkat prinsip dan fungsi yang dapat diterjemahkan dengan adanya tata tertib sosio-politik bagi tegaknya negara. Termasuk didalamnya keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan dan kehakiman. Dalam Quran juga bisa ditemukan hukum-hukum yang bersifat umum dan hukum yang mengatur langsung masalah pembagian harta rampasan perang atau upaya untuk menciptakan perdamaian. Lebih dari itu, berbagai tugas keagaman penting yang ditentukan Quran dan Sunnah seperti mengumpulkan zakat, menghukum tindakan kriminal, distribusi manfaat dikalangan yang berhak menerimanya dan organisasi jihad tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa intervensi penguasa politik yang resmi. Aspek fungsional inilah yang sering ditekankan Ibn Taimiyah dalam berbagai pandanganya tentang negara. Ia mengatakan bahwa agama dan negara sungguh saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama dalam keadaan bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi tiranik.[4] Melihat tegaknya keadilan berarti melaksanakan perintah dan mempersiapkan bagi kedatangan sebuah masyarakat yang dipersembahkan demi mengabdi Allah.
Adapun polarisasi dalam pemikiran politik dalam memandang islam dan politik atau agama dan negara. Pertama, pola pemisahan yang dilihat dari segi legitimasi kekuasaan, bahwa kekuasaan yang di absahkan dengan basis agama sudah tidak lagi sesuai pada etika politik negara modern. Yang menjadi kelemahan utama legitimasi jenis ini yang meletakan pemahaman inti tentang agama bahwa hakikat kekuasaan tersebut berasal dari alam gaib atau Ilahi.[5] Kedua, hubungan antara agama dan negara adalah hubungan yang komplementer. Konsepsi “nasionalisme islam” Soekarno yang mengkehendaki pemisahan antara agama dan negara dengan argument; (1) penyatuan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi, (2) hal itu dimungkinkan oleh watak hokum Islam yang lentur, dan (3) tidak ada consensus ahli agama tentang bersatunya agama dan politik. Yang kemudian Soekarno memberikan peluang kepada umat islam untuk berjuang dijalur politik dengan berjuang dijalur parlemen. Ketiga, hubungan agama dan negara yang tergolong dalam pola hubungan yang bersifat integratif, yang terbagi lagi kedalam tiga konsep; (1) integrasi total dan ideologis (2) integrase dalam konsepsi negara dan Pancasila adalah negara islam (3) integrase non-idiologis dan non-formal, yang mirip dengan komplementer “nasionalisme Islam” Soekarno.
Dunia Tanpa Islam
Fuller, mantan Wakil Kepada Dewan Intelijen Nasional CIA yang kini mejadi guru besar ilmu politik di Simon Fraser University, Vancouver, Canada. Memberikan pandangan bahwa, absurd jika dunia tanpa islam. Yang dimana agama ini sudah menjadi realitas historis sejak abad ke-7 M, yang membuktikan bahwa kaum muslimin terhapus dari sejarah. Memang ketika Fuller menggunakan istilah “Islam”, ia mengacu kepada “Islam Timur Tengah”, dan tidak secara eksplisit merujuk kepada kaum Muslimin di Kawasan Nusantara Indonesia misalnya. Dengan begitu, ia memperlakukan islam secara monolitik. Dan juga tidak memerdulikan kesenjangan antara cita ideal islam dengan living islam di dunia Arab dan lainya. Dalam karyanya, Fuller membahas tentang hubungan yang terjadi sepanjang sejarah antara masyarakat-masyarakat Muslim Timur Tengah dengan komunitas agama lain di Eropa dan juga masa kontemporer di Amerika Serikat, jika dalam episode tertentu sejarah memburuk, maka menurut Fuller, Islam bukanlah penyebab utamanya dan bukan pula penyebab keduanya. Jika ada ketegangan antara komunitas-komunitas Kristiani Eropa dengan masyarakat Muslim, hal itu sudah mendapatkan preseden dalam ketengan dan konflik di antara Kristiani Ortodoks Timur (Bizantium) dengan Kristiani Katolik Roma.
Jika Islam tidak menancapkan eksistensinya di kebanyakan wilayah Timur Tengah, besar kemungkinan wilayah ini masih dibawah wilayah kekuasaan greja ortodoks timur. Dan hubungan kedua ereja ini telah diwarnai kecurigaan timbal balik dan penuh racun selama dua millennium-meski sebenarnya mereka berbagi banyak tradisi yang sama. Bagaimanapun, kehadiran islam sebagai suatu kekuatan agama, sosial, budaya, dan politik menambah kompleksitas ketegangan yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian, tidak mungkin ada dunia tanpa islam.
Sekularisasi Politik Islam
Modernisasi didalam dunia Islam dimulai sejak abad ke 19. Berbagai program reformasi (Tanzimat) yang dilakukan untuk menandingi barat dimulai pertamakali oleh penguasa Ustmani dibawah pimpinan Sultan Mahmud II (1808-1939). Yang pada mulanya modernisasi tidak meluas keseluruh sendi kehidupan umat muslim. Modernisasi dilakukan terbatas pada lembaga birokrasi-militer negara. Tetapi pada paruh abad ke 19, modernisasi merambat kepada bidang kehidupan lain. Dalam program Tanzimat, Lembaga-lembaga keislaman mendapat tantangan dari pedirian lembaga-lembaga serupa yang dikungkung oleh negara modern dan di ilhami gagasan dan konsep Eropa. Sekolah sekolah baru bersifat sekuler di dirikan untuk melatih kalangan militer dan korps birokrasi dengan mengorbankan madrasah-madrasah tradisional, ketentuan hukum dan pengadilan Eropa diberlakukan dan menggantikan Syariah. Dengan begitu, lembaga-lembaga tradisional dalan negara islam pelan-pelan dimatikan melalui proses sekularisasi bertahap; pemisahan agama dari lembaga dan fungsi kenegaraan.[6]
Proses modernisasi Islam yang dilakukan oleh pemeritah-pemerintah muslim pada abad ke 19 diikuti munculnya pergerakan modernis islam di dunia Arab dan Anak Benua India. Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan antara agama dari politik dikarenakan bagi mereka Islam hanya terbatas pada masalah moral dan pribadi. Mereka berpaling ke Barat untuk memperbarui segi sosiopolitik dalam kehidupan manusia.
Selama adab ke 19 dan 20, modernisasi diperkenalkan di berbagai belahan dunia Muslim, baik dibidang militer, birokrasi, politik, hukum, ekonomi dan pendidikan. Basis ideologis islam mengenai negara dan masyarakat secara cepat berubah sebagai dampak nasionalisme model Barat Sekuler. Dan, banyak kaum muslim terperangkap dalam dua perspektif: Pertama, kepercayaan kalangan tradisonalis bahwa agama seharusnya menentukan karakter oganisasi politik, dan bahwa hukum islam telah menyediakan standart dan petunjuk yang diperlukan masyrakat. Kedua, prefensi kalangan muslim sekuler pada konsep dan lembaga politik barat. Sedangkan kalangan modernis muslim seperti Al-Afgani, berusaha mencari posisi tengah antara kecendrungan penolakan yang di pegangi pemimpin agama dan kecendrungan akomodatif terlalu besar yang ditunjukan elit Muslim Westernis-Sekuler.
Citra Barat tentang Islam
Islam sejak kemunculanya di awal abad ke-7 M (Wahyu pertama turun pada 610) membuat barat (Eropa atau Kristendom, yakni wilayah kekuasaan politik kristianitas) serba tidak enak. Islam merupakan agama terbesar didunia yang lahir dari akar historisitas yang sama; Islam Bersama Yudaisme dan Kristianitas tergabung dalam rumpun agama Ibrahim (Arbrahamic religions,dalam Bahasa Al-Quran millah Ibrahim). Karna itu, tak aneh jika islam dipandang sebagai ancaman serius bagi Kristendom atau bahkan Kristianitas.
Selain tantangan ideologis teologis, Eropa segera dihadapkan dengan ekspansi pax-islamica. Menjelang adab ke 7, islam telah langsung menggedor pintu Kristendom. Pada periode ini hampir seluruh wilayah Laut Tengah-sejak dari Anatolia (Turki) hingga Selat Gibraltar dikuasai kaum muslim. Pada 711 Gibraltar sepenuhnya tunduk pada kekuasaan Darl al-Islam, dan pada beberapa tahun berikutnya, setelah menganeksasi Semenanjung Iberia, kaum muslim siap melintasi Kawasan Pyreia. Kekalahan kaum muslim pada 732 dalam pertempuran Poitiers di tangan Charles Martel terbukti menjadi batas penetrasi Islam di Eropa Barat dalam sejarah kekuasaan Muslim di kawasan ini selama enam abad.
Syahdan, bagi Kristendom abad pertengahan, persoalan benturan dengan kaum muslim terkonsentrasi apada dua tataran; teologis dan politis (sekaligus militer). Pada tataran teologis, islam pernah dipandang eropa sebagai kelompok murtad Kristianitas (Christrian heresy), sebagai skisma dalam Kristianitas, yang pada giliranya memunculkan agama baru yaitu Islam. Pada tataran politik dan militer, Kristendom memiliki dua alternatif; mengahadapi kaum muslim dengan militer atau hidup berdampingan dengan dalam suasana relatif damai. Lebih lanjut, hubungan Kristianitas dan Muslim menunjukan konfrontasi kontinu. Di wilayah Timur Tengah, Perang Salib berkobar sejak 1095-1921, tatkala laskar salib berhasil diusir selamanya (for good) dari Palestina. Dan pada kurun waktu 1396, sekitar 100.000 tentara kristianitas menyerbu Turki Ustmani untuk menemukan kelalahan dalam pertempuran Nicopolis. Ketika laskar Turki Ustmani menaklukan Konstantinopel pada 1453, untuk kemudian sampai berada pada gerbang Wina, sekali lagi Eropa pada posisi defensif. Meskipun di semenanjung Iberia, ‘Reconquista’ (penaklukan kembali) dilakukan kekuatan Kristendom berhasil denga jatuhnya Granada (1492), yang mengakibatkan interaksi dan koeksistensi canggung antara kaum Kristiani dan Muslimin.[7]
Lebih kentara lagi, Teolog besar Kristen, Thomas Aqinas (1226-1274), dalam karyanya Summa contra Gentiles mengabdikan bagian khusus untuk membantah Islam. Ia juga menulis karya yang lebih pendek berjudul De retionibus fidei contra Saeacenos, Grecos et Armenos, yang secara polemis menggugat kebenaran islam. Dan, dari pemikiran-pemikiran Aquinas itulah mucul “citra barat” tentang Islam, yang di kategorikan dalam empat citra barat/eropa tentang islam[8]; Pertama, Islam adalah agama yang keliru dan merupakan pemutar balikan yang sengaja terhdap kebenaran Kristen. Kedua, Islam adalah agama yang di sebarkan melalui kekerasan dan perang. Ketiga, Islam adalah agama hawa nafsu. Keempat, Muhammad adalah anti-Kristus.