TAJDID.ID || Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Coronavirus Disease 2019 mengundang banyak kritik dan gugatan khususnya dari para pakar di Muhammmadiyah.
Menanggapi hal ini, Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) menyelengarakan diskusi online dengan tema “Menggugat PERPPU Covid-19” yang dinilai dapat membahayakan serta merugikan negara. Dalam diskusi tersebut menghadirkan beberapa pembicara diantaranya, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, M.A selaku Keynote Speaker, Prof. Dr. Syaiful Bakhri, Prof. Dr. Muhammad Fauzan, Iwan Satriawan, Ph.D, Dr. Sulardi, dan Dr. Ahmad Yani, pada Sabtu, 11 April 2020.
Webinar MAHUTAMA “Menggugat Perppu Covid-19” diawali dengan moderator Auliya Khasanofa Sekjend MAHUTAMA yang membuka dengan khazanah keilmuan yang obyektif untuk membahas isu krusial dalam Perppu Covid-19 yang dalam UUD NRI Tahun 1945 diatur menjadi kewenangan Presiden dan mulai berlaku 31/3/2020.
Menyikapi itu MAHUTAMA menghadirkan narasumber untuk membedah secara komperehensif termasuk dugaan Perppu ini yang memanfaatkan wabah dengan dalih kegentingan yang memaksa dikaitkan dengan krisis keuangan.
Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari Ketua Umum MAHUTAMA dalam sambutan menegaskan bahwa tradisi akademik dikedepankan untuk memberikan pencerahan dalam dinamika ketatanegaraan di Indonesia.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat Din Syamsuddin sebagai Keynote Speaker menekankan keberanian untuk mengingatkan penguasa, apalagi jika mengarah kepada constitutional dictatorship.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengaku setuju dengan sejumlah pihak yang melakukan judicial review atau uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1 Tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Maka saya termasuk yang bersetuju pada prakarsa sebagian kawan, ada Pak Ahmad Yani, Pak Syaiful, dan lain-lain yang mungkin ada di ruangan ini juga untuk melakukan judicial review dan saya ikut didalamnya,” ujar Din
Sementara Syaiful Bakhri, Rektor UMJ dan Ketua Tim Hukum Judicial Review Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menyampaikan bahwa pasal 2 Perppu bertentangan dengan pasal 23 UUD 1945.
Dijelaskannya, pada pasal 2 Perppu memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menetapkan defisit anggaran melampaui 3% PDB untuk Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022.
“Hal yang demikian bertentangan Dengan Pasal 23 UUD 1945 karena APBN bersifat periodik yang ditetapkan setiap satu tahun anggaran,” ujarnya.
Masalah lain dari Perppu tersebut adalah menjadikan eksekutif tanpa kontrol atau melampau kewenangannya. Karena Perppu memangkas kewenangan tiga lembaga sekaligus, yakni DPR, BPK, dan Kekuasaan Judicial.
“Perppu ini tidak layak untuk disahkan karena banyak sekali bertentangan dengan undang-undang,” tegasnya.
Sedangkan Muhammad Fauzan Guru Besar HTN FH Unsoed mengkritik perppu memang aturan bernuansa otoriter.
Begitu juga Sulardi Pakar HTN FH UMM mengatakan, bahwa dengan pendekatan sosiologis masyarakat semakin menderita pemerintah terlambat dalam menangani wabah corona bahkan dengan adanya Perppu Covid-19 tidak “nyambung” bahkan membahayakan bagi negara.
Dari perspektif lain Iwan Satriawan, Peneliti Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan (PK2P) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengatakan bahwa pemberian imunitas hukum pada pejabat dalam keadaan dalam darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 bertentangan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum yang diatur oleh UUD 1945 pasal 1 ayat 2 dan 3. Pasal tersebut menegaskan prinsip konstitutionalisme yang dianut oleh UUD 1945. Pasal 28 D UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
“Paradigma dan praktik di banyak negara seperti Inggris, Amerika, Prancis dan lainnya dalam situasi darurat tidak bisa kebal terhadap hukum tetap dapat dihukum ketika melakukan kesalahan yang bertentangan dengan peraturan,” ungkapnya.
Selanjutnya Ahmad Yani, Anggota DPR-MPR 2009-2014 dan Advokat mengungkapkan bahwa yang lebih mencolok dari Perppu ini adalah upaya pemerintah untuk mengamankan ekonomi yang sudah mengalami devisit anggaran sejak beberapa tahun sebelum Covid-19 masuk Indonesia, akibat kegagalan pengelolaan perekonomian dan keuangan negara yang tidak benar dan berpotensi mengancam stabilitas keuangan.
Dikatakannya, hal ini sudah seringkali diingatkan oleh pakar ekonomi khususnya oleh Rizal Ramli, dalam berbagai tulisan atau pandangan yang dikemukakannya dalam berbagai forum. Akan tetapi pemerintah menutup telinga dan mata.
“Jadi bukan karena Covid-19 perekonomian dan keuangan negara ambruk. Justru sebaliknya Perekonomian dan keuangan negara dalam keadaan buruk, menyebabnya pemerintah gagap menghadapi Covid-19,” paparnya
Peserta webinar MAHUTAMA menjadi yang terbesar karena diikuti 300 peserta yang terdiri dari Pimpinan Muhammadiyah, Pengurus MAHUTAMA, Guru-Guru Besar Indonesia dan Luar Negeri, Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, Kolegium Jurist Institute, Aktivis, Media dan Mahasiswa. Bahkan karena penuh 300 peserta langsung dibuatkan Live Streaming YouTube yang masih bisa disaksikan berulang-ulang
Auliya yang juga Wakil Dekan I FH UMT menyampaikan kesimpulan Webinar MAHUTAMA bahwa dari semua narasumber terdapat pemikiran bahwa pendekatan yang harusnya dilakukan menghadapi darurat kesehatan, diatur dengan Perppu yang bermuatan materi lebih banyak ke arah darurat ekonomi bahkan menghadirkan pola omnibus law dalam subtansinya dan terdapat dugaan adanya abuse of power. (*)