TAJDID.ID-Medan || Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Ismail Hasani mengatakan kontroversi yang mengiringi Omnibus Law bukan hanya terkait salah ketik, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
“Bahkan ini merupakan bentuk nyata dari adanya disrupsi hukum Negara yang serius,” ujarnya ketika tampil sebagai pembicara acara Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah tahun 2020 di Kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Sabtu (22/2/2020).
Karena itu, Direktur SETARA Institute ini meminta kepada Muhammadiyah untuk menaruh perhatian serius dalam persoalan ini.
Dikatakannya, Indonesia sebagai Negara ‘supermarket bencana’ yang terjadi baik disebabkan oleh alam secara alamiah, maupun bencana alam yang terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh ‘tangan-tangan nakal manusia’.
Kondisi ini kemungkinan akan diperparah dengan adanya Omnibus Law, di mana perijinan pembangunan bisa lolos tanpa mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) karena peraturan tertinggi yang menghendaki itu.
“Sehingga, dari produksi kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan dampak secara luas, sangat bisa menimbulkan kerusakan pada sektor lain, misalnya kerusakan ekologi yang menyebabkan terjadinya bencana alam,” tegasnya.
Ismail menilai, tidak semata ini soal perijinan, namun didalamnya mengandung mudharat dan dampak yang amat serius terhadap pemajuan hak asasi manusia (HAM).
“Inilah episode yang saat ini berlangsung, ini bukan ngompori tapi ini harus ada yang kita lakukan kritik terhadap peraturan ini, karena dampaknya yang serius terhadap HAM,” tuturnya.
Menurutnya, secara garis besar peran agensi sosial Muhammadiyah pada bidang HAM ditujukan untuk menjawab tiga tantangan yakni; pertama, purifikasi epsitemologi hukum HAM yang selama ini segaja dikikis. Kedua, melakukan penguatan kelembagaan HAM sebagai dampak epistemologi yang tidak tepat yang menyebabkan ‘kemandulan’ pada lembaga-lembaga HAM. Dan ketiga, pada aspek hukum dan politik penegakan hukum HAM.
“Muhammadiyah juga bisa hadir menawarkan alternatif keadilan pada kasus-kasus yang massif, aktual dan menuntut respon kemanusiaan segera. Baik di Indonesia maupun di dunia internasional,” tutupnya. (*)