TAJDID.ID~Surakarta || Ketua Umum PP Muhammadyah periode 2005-2010 dan 2010-2015, Prof Dr Din Syamsuddin PhD mengatakan, Dunia Islam dan Muhammadiyah dewasa ini, selain menghadapi tantangan, tapi juga mempunyai peluang. Bahkan ada momentum bagi kebangkitan dunia Islam dan peradaban Islam.
“Muhammadiyah sangat qualified untuk menjadi leading sector dan unit sector, sebagai motor penggerak. Alasannya, bukan hanya karena Muhammadiyah berada di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi juga gerakan Muhammadiyah dalam lintasan satu abad itu juga diakui oleh dunia,” ujarnya dalam Seminar Pra Muktamar di UMS, Senin (30/5).
Selain itu, Prof Din juga menilai Infrastruktur gerakan Muhammadiyah cukup kuat.
“Terus terang saja kalau di tingkat dunia Islam kita mendapat pujian, walaupun untuk bergerak secara lebih global masah kalah dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam lain, seperti Ikhwanul Muslimin,” imbuhnya.
Kemudian dikatakannya, momentum yang tersedia sekarang adalah dunia yang oleh banyak pakar disebut dengan the world of disorder, yakni dunia yang berantakan atau dunia yang tidak teratur. Kemudian the world of uncertain, yakni dunia yang serba tak pasti, atau sering juga disebut dunia yang mengalami gangguan besar (big desruption).
“Dari fenomena-fenomena tersebut terlihat dunia sedang berpikir tentang masa pasca pandemi (post pandemic time). Artinya dunia yang bagaimana? Apakah kembali ke new normal sebelum pandemi atau justru keadaan sebelum pandemi itulah yang menyebabkan dunia seperti yang saya sebutkan tadi, yakni dunia yang penuh dengan ketidaktertiban dan ketidakpastian,” paparnya.
“Nah, sekarang banyak percakapan di tingkat global untuk merancang suatu tata dunia baru pasca pandemi,” imbuhnya.
Bersamaan dengan itu, lanjut Prof Din, sekarang sudah mulai muncul kritik terhadap globalisasi, bahkan sudah ada usulan tentang deglobalisasi untuk mengganti sistem tatanan dunia yang rusak karena terlalu antroposentistik, terlalu berpusat kepada manusia sebagai pusat kesadaran. Tidak bersifat teosentristik yang kemudian melahirkan humanisme sekuler dan liberalisme. Dan kemudian terjadilah arus liberalisasi ekonomi, liberalisasi politik dan juga liberalisasi budaya.
Sementara, lanjut Prof Din, realitas yang terjadi sekarang adalah ketiadaan damai. Sekarang peace tidak lagi dilawankan dengan war, walaupun perang-perang terus terjadi dimana dari data terakhir terjadi konflik bersenjata di 120 lokasi di dunia.
“Namun lebih besar dari sekedar perang itu, sekarang masayarakat dunia dihadapkan dengan situasi yang disebut dengan the absence of peace atau ketiadaan perdamaian dalam bentuk kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kesenjangan, diskriminasi sampai kepada kekerasan dalam berbagai bentuknya dan juga kerusakan ekologis yang menjadi momok sekarang ini dalam bentuk perubahan iklim dan pemanasan global yang mana PBB sudah lama bergerak setelah MDGs gagal, dan sekarang diganti dengan SDGs yang juga belum tentu bisa berhasil,” sebutnya.
Menurut Prof Din, di tengah kondisi inilah momentum bagi dunia Islam tampil untuk menjadi penyelesai masalah (problem solver). Tetapi persoalannya, pada diri Dunia Islam juga sedang banyak masalah, selain kemiskinan, kebodohan, kesulitan bersatu dan ada masalah-masalah yang lebih akut lagi, seperti faksionalisasi dan tampilnya kelompok-kelompok yang membawa pesan Islam beraroma kekerasan. Bahkan di luar sana terjadi, bukan hanya gejala tapi fakta maraknya kebencian terhadap Islam atau Islamofobia.
“Ini menjadi back-drop adanya peluang, baik peluang yang tersedia maupun kita harus mentransformasi tantangan menjadi peluang. Maka dengan penuh optimisme para cendikiawan muslim sebetulnya sudah cukup lama, setidaknya sejak tahun 2005 sudah mulai memunculkan gagasan peradaban alternatif (the alternative civilitation), yakni sebuah peradaban pengganti. Tapi sayang sampai sekarang belum ada yang serius menyusun konsep dan strategi peradaban,” katanya.
“Oleh karena itulah Muhammadiyah menghadapi tantangan tapi juga memiliki peluang,” ungkapnya.
Revitalisasi PCIM
Lantas apa yang harus dilakukan Muhammadiyah? Prof Din mengatakan, Alhamdulillah sekarang ini infrastruktur dari peran-peran internasional Muhammadiyah cukup tersedia, misalnya sekarang Muhammadiyah sudah memiliki PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) di 29 negara.
Prof Din menilai, revitalisasi jaringan internasional Muhammadiyah (PCIM) di berbagai negara ini bagus sekali. Apalagi selain PCIM yang anggotanya terdiri dari warga negara yang sedang belajar dan berdiaspora di manca negara, juga sudah dari dulu terbentuk sister organitation Muhammadiyah di sejumlah negara, yakni organisasi dengan nama Muhammadiyah, logo dan benderanya sama, tapi tidak memiliki hubungan organisatoris dengan Muhammadiyah di Indonesia.
“Ini mutlak perlu jadi perhatian Muktamar dan PP Muhammadiyah terkait revitalisasi PCIM. Tentu harus dilakukan secara serius dan terencana. Jadi tidak menunggu mereka yang membentuk, tapi dari Indonesia ada upaya yang terencana untuk menambah PCIM, minimal di 57 negara OKI, karena ada orang-orang Muhammadiyah di sana,” ujarnya.
Namun, kata Prof Din, PCIM-PCIM ini harus diberi mandat sebagai tempat berkumpulnya keluarga besar Muhammadiyah.
Kemudian PCIM-PCIM ini selain menjadi Kedutaan Besar Muhammadiyah di luar negeri juga menjadi mediator Muhammadiyah dengan lembaga-lembaga pendidikan. instansi-instansi pemerintah setempat, dunia usaha, termasuk untuk berdakwah di kalangan masyarakat setempat.
“Kalau ini saja kita bisa lakukan, maka internasionalisasi Muhammadiyah akan lebih nyata lagi,” pungkasnya. (*)