TAJDID.ID-Medan || Pemerintah harus bersikap adil dan mengedepankan pertimbangan HAM terkait wacana pemulangan 660 Warga Negara Indonesia (WNI) eks ISIS yang terlantar di Timur Tengah.
Demikian dikatakan Pengamat hukum Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum menanggapi pernyataan Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodawardhani menyatakan bahwa mantan simpatisan ISIS yang membakar paspornya sudah bukan lagi WNI.
“Kalau mereka masih punya paspor, ya tentu masih (WNI). Tapi kalau sudah dibakar dan mereka tidak menginginkan jadi WNI, sudah jelas kita tahu itu bukan WNI,” ujar Dhani di kantor KSP, Jakarta, Jumat (7/2).
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara ini menilai pernyataan Deputi V KSP itu terlalu berlebihan dan perlu dipertanyakan, karena sesuai amanat konstitusi, Negara –dalam hal ini pemerintah- berkewajiban untuk melindungi warganya.
“Lha, wong koruptor saja diberi makan gratis, dididik dan diberi berbagai fasilitas di Lapas,” ujarnya di Medan, Sabtu (8/2).
Bila alasannya karena ada yang bakar paspor, sehingga dengan itu disimpulkan semua jadi hilang kewarganegaraannya, Abdul Hakim meminta untuk memberikan informasi terkait mereka, apakah itu kesadaran mereka atau karena dipaksa dan atau terjebak karena kebodohannya ?
“Lha, yang ngancam Jokowi, dengan jelas akan membunuhnya dan jelas menyatakan kacung, apa sudah dihukum dan dicabut kewarganegaraannya? Apakah kebijakan China dengan dwi kewarganegaraannya sudah ada kepastian hukumnya? Atau buronan-buronan yang lari ke LN itu bagaimana tindaklanjutnya ? Adillah sesuai hukum!,” tegas Abdul Hakim.
Abdul Hakim menilai, ramainya polemik dan pro-kontra terkait persoalan ini sebetulnya lebih dikarenakan minimnya informasi tentang mereka (WNI eks ISIS).
Dimulai dari hal makro, misalnya, berapa pastinya jumlah mereka, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak.
Kemudian secara mikro, perlu juga dipastikan siapa-siapa yang memiliki paspor, asal daerah, pendidikan dan pekerjaannya sewaktu di Indonesia.
Abdul hakim mempertanyakan, adakah info yang valid mengapa mereka bergabung dengan ISIS?. Berapa banyak dengan kesadaran sendiri, yang cuma cari pekerjaan atau justru yang terjebak iming-iming?,
“Tentu penting untuk dipilah, berapa banyak diantaranya tertipu atau jadi korban karena iming-iming dan janji-janji palsu atau yang dengan penuh sadar bergabung karena alasan ideologi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Abdul Hakim juga mempertanyakan, mereka-mereka yang disebut gabung dengan ISIS itu sudahkah pernah diproses hukum, sehingga jelas apa kesalahan dan hukumannya ?
“Bila itu belum ada, dimana penghormatan pada HAM dan praduga tidak bersalah?,” katanya.
Pecat Deputi V KSP
Jadi poinnya, kata Abdul Hakim, sebagai kepala negara dan pemerintah, adalah kewajiban presiden untuk melindungi segenap tumpah darah, mencerdaskan dan menegakkan hukum.
“Karena itulah inti sumpah jabatanmu. Bukan memantik prokontra dan jangan diskriminatif, karena itu jelas melanggar HAM,” sebutnya.
Menurut Abdul Hakim, pernyataan Deputi KSP apalagi atas nama istana, jelas telah UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Pada BAB IV tentang kehilanganan kewarganegaraan yang diatur dari pasal 23 sampai pasal 28 tak disebut apalagi ditegaskan bahwa membakar paspor itu menjadi sebab hilangnya Warga negara.
Kemudian pasal 29 UU tersebut diatas jelas menyatakan, Menteri mengumumkan nama-nama orang yang kehilangan kewarganegaraanya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Jadi sepanjang ketentuan pasal 29 tersebut belum ada, maka Abdul Hakim tidak ada kewenangan siapapun menyatakan hilangnya kewarganegaraan seseorang, walaupun atas nama istana bila benar.
“Kita desak agar yang bersangkutan (Deputi V KSP-red) segera dipecat presiden, karena memalukan dan nyata-nyata menyebar info yang melanggar hukum,” tegas Abdul Hakim. (*)
Liputan: Maestro Sihaloho.