TAJDID.ID~Medan || Pakar hukum Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum mengatakan, gegap-gempitanya informasi tentang bisnis alkes, obat, vaksin, khususnya PCR dan antigen, menuntut akademisi atau pakar untuk memberikan penjelasan obyektif dari berbagai perspektif.
“Hal ini penting agar sengkarut informasi yang kental ragam bumbu, warna dan polesan narasi terkait kasus ini bisa diurai sejernih mungkin dan tindak lanjut pengungkapannya bisa dituntaskan dengan transparan dan seadil-adilanya,” ujar Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara ini, Sabtu (6/11/2021).
“Catatan, alkes, obat-obatan, vaksin cq PCR dan antigen merupakan potret secuil realita dunia hari ini. Dan potret itu sangat mengerikan!,” imbuhnya.
Sebelum kesana, kata Abdul Hakim, harusnya naluri teman-teman media dan jurnalis sudah mampu memberikan informasi tersaring dengan filter kode etik/adab atau moral sebagai bukti integritas.
“Sayang, nampaknya itu mungkin tinggal harapan. Informasi lanjutan nampaknya nyaris ambyar. Kemasan media malah menunjukkan kebalikannya, sehingga jadi liar, sebab yang menonjol dimunculkan justru sisi prokontranya. Dan ini sangat kental aroma skenario politik dan bisnis,” ungkap Dosen Fakultas Hukum UMSU ini.
Harapan
Menurut Diretur Lembaga Advokasi Umat Islam (LADUI) MUI Sumut ini, kalau memang informasi terkait kasus ini memadai atau fakta-fakta sudah begitu, maka wajiblah para ahli atau pakar memberi keterangan untuk kepentingan tegaknya kebenaran dan mulai menakarnya dengang etika yang terkait, seperti bisnis, profesi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kata Abdul Hakim, akan tersaji jawaban, apakah etika bisnis membenarkan itu? Dan apakah mereka-mereka yang diduga kuat terkait dalam pusaran kasus itu juga tak salah atau setidaknya kaitan dengan konflik kepentingan atas statusnya sebagai aparat atau pejabat negara.
“Asumsi saya, bila info-info itu benar, maka itu sudah melanggar ragam etika. Namun, pertanyaan selanjutnya, lembaga mana yang punya otoritas memeriksa dan memutusnya? Ini soal pelik, sebab itu sengaja dibuat tak jelas dan tanpa kepastian. Itulah kekompakan oligarki dengan berbagai perannya,” sebutnya.
Kemudian, lanjut Abdul Hakim, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, bagaima langkah lanjut proses hukum kasus ini, apakah atas dugaan korupsi, pidana umum, perkara perdata dan atau administrasi?
“Untuk ini juga, siapa yang berani? Apalagi kita ketahui aparat hukum, seperti polisi, kejaksaan bahkan KPK belakang sedang mengalami krisis kepercayaan dari rakyat, terutama terkait penaganan kasus yang melibatkan penguasa,” tukasnya.
Oleh karenanya, menurut Abdul Hakim, harapan satu-satunya tinggal pada presiden.
“Kita meminta Presiden Jokowi secepatnya memberikan penjelasan tentang polemik etika tadi dan lebih lanjut membuat rencana langkah lainnya, tentu dengan ketegasan perintah. Jika memang dari hasil pemeriksaan cermat dan kajian ahli tidak ada pelanggaran etika, maka tegaskan dengan lugas. Demikian juga dalam hal terkait hukum,” tegas Abdul Hakim.
Itu pun, kata Abdul Hakim, dirinya nyaris pesimis kasus ini bisa cepat tuntas, kendati itu oleh presiden. Alasannya, karena belum ada yang jadi rujukannya pada periode ini.
“Bagaimana kita bisa optimis, hukuman korupsi terkait dana bencana saja begitu ringanya dan seorang Harun Masiku malah sampai saat ini tak kunjung bisa ditangkap dan keberadaannya entah dimana,” kata Abdul Hakim
“Semoga Pak Presiden berani tegas memberi contoh dan teladan, menegakkan hukum sesuai sumpahnya, itulah legacy yang kita dambakan, moga tak sekedar harapan,” tutup Abdul Hakim. (*)