TAJDID-Medan || Meningkatkan peranserta perempuan dalam pengambilan keputusan pada proses kebijakan pembangunan adalah suatu keharusan.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (PSGA UMSU) Dra. Hj. Yurisna Tanjung, M.AP pada kegiatan Workshop yang bertema; “Meningkatkan Peran Perempuan di Dalam Pengambilan Keputusan” yang dilaksanakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Labuhan Batu Induk, pada Selasa (28/01).
“Jadi peranserta perempuan dalam pengambilan ketupusan sebenarnya telah mendapatkan ruhnya setelah adanya Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini kemudian menjadi cikal bakal praktik kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh proses pembangunan nasional,” ungkap Yurisna Tanjung dihadapan peserta workshop yang terdiri atas perwakilan partai politik dan perwakilan organisasi perempuan.
Tindaklanjut yang nyata dari Inpres tersebut menurut Yurisna Tanjung adalah terbitnya UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD yang didalamnya mengharuskan partai politik menempatkan 30 persen perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. Kebijakan ini pertamakali dipraktikan pada Pemilu 2004.
“Dengan adanya sistem 30 persen tersebut, maka setiap tiga calon legislatif pada partai politik maka terdapat satu perempuan di antaranya. Tujuannya, agar perempuan bisa berada di nomer “jadi” bukan di nomer buntut. Hal ini bisa dilihat pada pasal 55 Ayat 2 UU Pemilu Legislatif,” ujar Yurisna Tanjung yang juga merupakan dosen Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP UMSU.
Begitupun menurut Yurisna Tanjung, meski ruang politik bagi keterlibatan perempuan untuk pengambilan keputusan sudah dibuka, tetap saja kelompok perempuan masih mempunyai beberapa tantangan politik yang harus dituntaskan salah satunya minat kelompok avtifis perempuan yang masih rendah untuk masuk ke dalam dunia politik, sehingga tidak ada figur-figur perempuan yang menonjol di hadapan publik.
“Selain itu, sistem pemilu kita yang semakin terbuka dengan mekanisme suara terbanyak semakin mempersulit implementasi tindakan afirmatif. Ditambah lagi pemilih politik kita yang semakin pragmatis sehingga jenis kelamin tidak relevan dalam preferensi pilihan politik mereka.” imbuhnya.
Jadi, kata Yurisna, kondisi inilah yang menjadi realitas mengapa jumlah perempuan di legislatif masih kecil sekali.
“Padahal dengan lebih banyaknya keterwakilan perempuan di legislatif maka kebutuhan-kebutuhan perempuan atas pembangunan semakin cepat tersuarakan. Sehingga terciptalah satu tatanan kebijakan yang responsif gender,” pungkasnya (*)
Liputan: MH