Oleh: M. Risfan Sihaloho, Pemred TAJDID.ID
Bahasa tidak saja memantulkan dunia, tapi bahasa juga membentuk dan menciptakan dunia. (Alessandro Duranti, “Politics and Grammar: Agency in Samoan Political Discourse” (1990).
Memang idak diragukan lagi, manusia adalah makhluk sosial yang pandai menciptakan alat atau media (tool-using animals). Dan alat yang paling hebat yang dikembangkan manusia adalah bahasa, lisan maupun tulisan (Gorys Keraff ,1997). Melalui bahasa manusia bisa bekerja sama dan berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa juga bisa menjadi simbol identitas diri seseorang. Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi.
Bahasa merupakan sarana dan pencerminan keterikatan sosial dan kesatuan bangsa. Bahasa adalah komunikasi budaya yang penting karena menjelaskan kebudayaan pemakai bahasa tersebut dan membudayakannya sendiri melalui penggunaannya. Apapun tradisi, apapun kreasi, apapun hasil kebudayaan yang kita miliki, dapat segera punah dan berganti, kecuali satu yaitu bahasa.
Sejarah mencatat, bahasa memiliki durasi yang jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan produk-produk peradaban lainnya. Dengan bahasalah, suatu bangsa menitipkan seluruh harapan, obsesi, mimpi, kenyataan, ketakutan, maupun protes-protesnya dalam kehidupan, sehingga bahasa menjadi vital dalam hidup kita bahkan kini menjadi senjata karena kita dapat menentukan bahkan menguasai seseorang atau sebuah bangsa, hanya dengan berkomunikasi melalui bahasa.
Melalui bahasa pula manusia menyatakan identitas dan pengertiannya terhadap lingkungan serta menggunakannya sebagai alat pengolahan masalah dalam mengambil keputusan dan untuk mempengaruhi orang lain.
Manipulasi
Akan tetapi, di tangan manusia bahasa bukan sekedar alat untuk berkomunikasi, tapi dapat pula dimanipulasi sedemikian rupa untuk memaksimalkan kepentingannya. Dalam politik fungsi bahasa sering dihaluskan dan digunakan sebagai alat manipulasi, jargon dan retorika guna mencapai cita-cita kekuasaan.
Sebagai contoh, lihatlah bagaimana para pejabat Negara dan politisi pandai berpidato dan menghipnotis pendengarnya dengan janji-janji dan retorika. Yang keluar dari mulut mereka adalah susunan kata-kata yang membentuk kalimat indah, dengan intonasi dan nada suara yang membius sehingga pendengarnya mau bertindak sesuai dengan isi pesan yang disampaikan.
Politisi menyadari betul kekuatan bahasa dalam mempengaruhi pikiran manusia. Manusia memang makhluk yang ahli memanipulasi apapun, termasuk memanfaatkan bahasa untuk alat politik atau alat kontrol sosial. Para politisi paling sering mempraktikkan hal itu. Mereka mengandalkan bahasa dalam melancarkan strategi berpolitiknya.
Setiap kali berbicara, para politisi kita berusaha menunjukkan kepada publik cara berbahasanya sekaligus berpretensi menjadikan dirinya sebagai sumbu berbahasa dalam komunikasi politik yang ditunjukkan dengan pilihan-pilihan gramatikanya yang dipenuhi metafora dan eufemisme.
Tidak diragukan lagi, konstruksi realitas politik memang terkait erat dengan penggunaan bahasa yang diumbar para politisi. Pasar politik yang cenderung liberal secara vulgar menyediakan beragam etalase dan panggung wacana yang di dalamnya terdapat banyak diksi yang bisa digunakan sebagai alat untuk perang politik. Atraksi bahasa yang dimainkan secara lihai dan penuh akrobatik oleh para politisi terbukti mampu sedemikian rupa menyihir dan menghipnotis daya nalar publik.
Dalam politik , fungsi bahasa diredusir sebatas sebagai alat untuk mengekspresikan kekuasaan. Bahasa politik adalah bahasa sebagai alat persuasi sehingga sarat dengan eufemisme, jargon dan retorika. Penggunaan gaya bahasa eufemisme dimaksudkan untuk membuat segala sesuatu menjadi tampak berkesan positif , berkesan lebih baik ketimbang realitas senyatanya. Eufemisme dan retorika adalah cara membungkus agar tindakan dan kebijakan penguasa kelihatan beradab namun cara ini membuat bahasa menjadi tersesat jauh dari makna sebenarnya. Bahasa yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan akan mengalami distorsi makna yang luar biasa.
Dalam politik, bahasa menjadi tak bermakna karena tidak keluar dari hati. Pesan perdamaian tidak akan sampai jika si pemberi pesan menunjukkan perilaku yang mengobarkan peperangan. Bahasa sebagai alat politik adalah kata-kata yang keluar dari mulut orang yang suka berjanji tanpa komitmen untuk menepati janjinya . Bahasa sekedar pemanis bibir.
Sebagai contoh lihat saja saat musim kampanye akan banyak sekali berhamburan kata-kata yang hanya manis di bibir.Begitulah, bahasa sebagai alat politik bisa menjadi tidak bernilai karena jatuh menjadi sarana untuk mengumpat, mencaci-maki dan menelanjangi kejelekan orang lain. Bahasa menjadi alat untuk mengobarkan konflik, kebencian, dan pembunuhan karakter lawan politik. Lihatlah propaganda atau perang wacana para politisi dari partai politik yang berseberangan, tidak jarang yang vulgar, emosional dan banal.
Dan tak salah lagi, bahwa kekuatan bahasa memang benar-benar memiliki kuasa. Bahasa dalam politik adalah instrumen paling penting menggait siapa saja yang terjebak. Sadar atau tidak, dalam keseharian bahasa politik menghiasi kehidupan kita. Rezim terus berganti datang dan pergi, para pemimpin mengikutinya seiring dengan masanya. Pelanggengan kekuasaan untuk terus bertahta pada tampuk kuasa di tempuh dengan beragam cara guna mempengaruhi rakyat yang dipimpinnya. Tak terasa pada saat ini kita berada dalam bulan yang istimewa, Oktober yang identik dengan bulan bahasa. Bahasa, politik dan kekuasaan sulit untuk dipisahkan.Politik merupakan cara yang paling efektif untuk melestarikan kekuasaan.
Sebagai bukti, Seoharto berhasil mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun. Ini tidak lepas dari berbagai jurus politik yang diperankannya, diantaranya politik bahasa. Sejarah mencatat, rezim Orba sukses memaksimalkan politik bahasa untuk melanggengkan status-quonya.
Barangkali kita masih ingat dengan istilah stabilitas keamanan yang begitu populer pada era orde baru. Stabilitas merupakan bagian trik era orde baru untuk terus menlindungi presiden atau pejabat pemerintah dari berbagai pihak yang berseberangan.Dengan alasan menjaga stabilitas keamanan dan demi keberlanjutan pembangunan, maka kritikan dan suara sumbang di masyarakat harus dibungkam. Frasa stabilitas keamanan dan Undang-undang anti –Subversi sebagai tameng.Selain frasa stabilitas keamanan, frasa “tertib, aman, dan terkendali” juga sering muncul dalam pidato-pidato yang dibawakan oleh pejabat waktu itu.
Mochtar Pabotinggi dengan Esainya yang berjudul Bahasa, Politik, dan Otosentrisitas (Tempo, 23/6/2014), menegaskan hubungan antara bahasa dan politik yang begitu erat. Menurutnya, pilihan menggunakan bahasa atau kata-kata tertentu tak lain adalah berpolitik dalam maknanya yang paling dalam dan luas.
Pilihan menggunakan dialek dan menekankan pengertian tertentu atas kata juga bagian dari politik.
Sejalan dengan pikiran Pabotinggi di atas, tak dimungkiri banyak calon atau pun penguasa yang memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk berkuasa. Ini pun juga telah ditegaskanoleh Gramsci yang mengatakan bahwa salah satu cara yang kerap dipakai untuk mempertahankan kekuasaan adalah melalui prinsip yang olehnya disebut hegemoni.
Penutup
Begitulah. Bahasa politik, bahasa hegemoni dan bahasa sebagai alat kekuasaan tak dapat dihindarkan bagi para politisi atau pemimpin guna meraih simpati rakyatnya. Namun sebagai salahsatu identitas bangsa, marwah bahasa tentunya wajib untuk dijaga. Tradisi manipulasi dan memperkosa bahasa seperti yang marak terjadi dalam dunia politik kita selama ini harus dihentikan.
Kita harus ingat bahasa Indonesia terwujud dari cita-cita mulia dan bukan sebagai alat pemuas syahwat kekuasaan semata. (*)