TAJDID.ID-Yogyakarta || Guna mengenalkan karya sastra kepada generasi milenial, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Lembaga Kebudyaan (PPALK) menyelenggarakan Obrolan Santai (Obras) dengan tema “Aisyiyah dan Sastra” pada (18/1) di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Jl. Cikditiro No. 23 Yogyakarta.
Dalam acara tersebut terungkap, bahwa kebudayaan yang awalnya sebagai pedoman hidup yang dicairkan oleh arus perubahan global. Nilai-nilai kebudayaan turut luntur dan arah pedoman manusia sebagai suatu bangsa menjadi berubah. Bahasa dan sastra sebagai bagian dari kebudayaan yang juga pedoman, arah, penuntun hidup warga negara Indonesia juga tidak terlepas dari fenomen peluruhan dan ketercerabutan. Hal ini menyebabkan karya sastra yang awalnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan juga turut pudar.
Dampak signifikan dari fenomena ini adalah tergerusnya pemahaman generasi muda atau milenial terhadap budaya luhur aselinya, mereka lebih cenderung mengkonsumsi budaya baru yang datang menerpa mereka. Budaya yang datang dari belahan dunia antah-berantah, kemudian mendominasi siklus kehidupan generasi milenial. Adab-budaya ke-Timuran dan ke-Indonesiaan sirna secara perlahan namun pasti.
Wakil Ketua PPALK, Widiaastuti menjelaskan, digelarnya acara ini adalah sebagai kanal untuk menggugah semangat generasi muda atau milenial untuk peduli terhadap sastra. Sastra bagi ‘Aisyiyah juga sebagai alat dakwah, karena di Muhammadiyah juga telah mentahfidzkan bahwa, metode dakwah alternatif salah satunya adalah dakwah kultural.
“Kepedulian ‘Aisyiyah dibuktikan dengan adanya Majalah Suara ‘Aisyiyah (SA) yang teguh merawat semangat literasi kelompok Perempuan Berkemajuan. Juga sebagai cara mengembangkan sayap dakwah ke berbagai kalangan,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua PP ‘Aisyiyah, Susilaningsih Kuntowijoyo menuturkan, acara ini dikemas dan diperuntukkan untuk mengaet kaum muda, melalui pendekatan sastra. Karena sejak awal ‘Aisyiyah telah memiliki concern terhadap sastra. Serta penting untuk mengembangkan sastra itu sendiri, istri dari sastrawan 80-an, Kuntowijoyo ini menyakini bahwa, di ‘Aisyiyah banyak yang memiliki kefasihan dalam sastra.
“Karya sastra adalah ekspresi estetis dari para sastrawan yang terkait dengan pengalamannya, imajinasinya dan berbagai kondisi-kondisi lainnya,” ugkapnya.
Sastra bagian dari budaya merupakan sarana pendekatan dakwah, karena karya sastra adalah ekspresi bagian utuh dari manusia. Sehingga apabila sastra mengandung nilai, maka karya sastra bisa menjadi suatu yang menginspirasi terhadap gagasan spititual jama’ah atau masyarakat luas.
Mengutip pendapat suaminya (alm Kuntowijoyo-re), sastra merupakan ekspresi bagian dari dalam manusia yang direaktualisasikan. Sastra haruslah bisa membawa kepada pengenalan-pengenalan dan tugas kenabian. Sastra profetik harus mengandung unsur-unsur illahiah, yang berpijak pada surat Ali Imron ayat 110. Di dalam ayat tersebut, tersirat perintah kepada manusia terbaik untuk mencegah kerusakan dan melestarikan keindahan dan kebaikan.
“Sastra itu adalah langhak menghumanisasikan manusia, yang mencegah kepada kehancuran dan mengajak orang kepada kebaikan,” pungkasnya. (a’n)
Sumber: muhammadiyah.or.id