Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Disain dan pemasangan baliho di atas adalah inisiatif individual seorang caleg yang mencerminkan hasil bacaannya atas dinamika politik panggung depan (front stage) yang terjadi belakangan di Indonesia. Bisa saja fenomena yang ditafsirkannya dalam bentuk baliho itu mewakili gambaran kondisi transisi politik nasional.
Caleg itu tentu saja tak akan berani mendisain baliho seperti itu tanpa perkiraan atas resistensi para pihak, terutama orang-orang yang gambarnya dipersatukan dalam baliho. Tentu saja harus diduga bahwa caleg itu berani memasang baliho seperti itu dengan tingkat kepastian kepercayaan tertentu tak akan digusur oleh penguasa kota. Caleg itu tahu situasi kebatinan para pihak, tak kecuali Walikota Medan.
Tetapi gimmick tetaplah gimmick, kesungguhannya tidak begitu pasti. Jokowi bisa diterjemahkan sangat ingin terkesan ada pada sisi tertentu dari ketiga bakal capres 2024 agar ia secara diam-diam dapat leluasa berkepemihakan ke sisi lain tanpa pengawasan ketat.
Jokowi memang sangat khawatir pasca 2024 dan itu memaksanya untuk berhitung ekstra tentang pemenang pilpres 2024. Prabowo merasa beroleh political advantage dengan dipihaki Jokowi, tetapi ia pun tahu apakah Jokowi tulus atau tidak.
Bagi Prabowo tujuan akhir bukan soal dekat dengan Jokowi, melainkan bagaimana bisa menang pilpres dengan berbagai macam tujuan instrumental yang dapat berubah setiap saat. Sebaliknya bagi Jokowi tidak ada urusan apa pun di atas keselamatan pasca 2024. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut