Langit masih juga gelap sebentar lagi fajar. Itu subuh akan tiba. Tanah dikakinya agak dingin, ya dekat sungai, basah. Ia terus melangkah. Gerobak itu mendekat, dibelakangnya. Tiba pada bagian yang terbuka, inilah tepian sungai. Masih gelap matanya tak begitu terang. Ia mengusap matanya, mengusap sampai terang, tetapi masih juga gelap. Atau memang masih terlalu gelap. Ah, mata tua, mata tua.
Kayu itu tidak nampak. Dimana? Matanya! Pak Penebang itu datang. Agaknya telah terjadi sesuatu? Gerobak itu berhenti dekat pinggiran sungai. Kesinilah! Tetapi sulit sampai kepinggirnya. Tanah itu terlalu lunak. Dinginnya tnaah! Mana kayu itu? Haruskah mereka menanti fajar? Ya, baiklah begitu. Mereka pun berdiri saja dipinggiran sungai, tak nampak juga kayu itu. “Mana kayu itu, Pak Penebang?”. “Mana kayu itu, Kakek”.
Tidak ada lagi. Ketika cahaya fajar pertama datang dari celah langit, tahulah mereka kayu itu tak ada lagi. Ditepian sungai banyak sampah menambat. Dicari, dicari! Tidak usahlah. Jelas, telah banjir semalam. Kayu itu hanyut. Tuhan! Sampai kepadaMukah?
Lelaki tua berdiri. Penebang berdiri. Sesuatu telah hilang. “Tidak, tak ada yang hilang” kata lelaki tua itu. Pak Penebang mendorong kembali gerobak. “Kakek, kita pulang”. Lelaki tua itu berdiri sejenak lagi. Tersenyum. Sampai kepadaMukah, Tuhan? (*)
Sumber: Buku “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” (Kumpulan Cerpen)
	    	
		    





