• Setup menu at Appearance » Menus and assign menu to Top Bar Navigation
Senin, September 1, 2025
TAJDID.ID
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
      • LabMu
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • Catatan Hukum
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
      • LabMu
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • Catatan Hukum
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
tajdid.id
No Result
View All Result

Sepotong Kayu untuk Tuhan

M. Risfan Sihaloho by M. Risfan Sihaloho
2019/07/27
in Cerpen
0
Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

Sejak saat itu ia tak menyentuh lagi kayu itu. Seluruhnya terserah pada penebangnya. Pohon itu tumbang. Penebang itu menjadikannya balok persegi panjang yang kuning keemasan. Tak perlu menyesal lagi tidak ikut mengerjakan. Ia sudah berusaha. Yang penting, sekarang, ialah merencakan segalanya. Itu perlu pemikiran seorang berpengalaman. Dialah orangnya yang harus memikirkan. Perkara mengangkat-angkat cukuplah pak penebang, itu memang kerjanya. Hanya sedikit kecewa, ia tak akan bisa mengatakan bahwa dia sendirilah yang telah merobohkan makhluk kuning itu. Biarlah, masih banyak yang akan dikerjakannya dengan kayu itu. Ada lagi, yaitu mendorong sampai tepi sungai dan menghanyutkan.

Lelaki tua itu bersepakat untuk menghanyutkan kayu itu pada sore hari setelah matahari tenggelam. Diseberang timur akan ditaruhnya kayu itu dna pagi-pagi sekali penebang itu akan membawa gerobak dorong. Pagi sekali, sehingga makhluk Tuhan sebangsa manusia tak akan melihatnya.

Sore hari, langit telah memerah dibagian barat. Awan tebal menutup matahari. Tetapi dari sela-selanya membersit cahaya merah yang berninar-binar menyerbu langit. Kedua orang itu berusaha menggulingkan kayu itu ketepi sungai. Dengan tongkat-tongkat besar dari kayu, mereka berdua mendorongnya. Goresan yang dalam, membekas-bekas pada tanah yang terlewat. Sebentar-sebentar akan terdengar teriakan dari mulut tua itu: Bagus! Setiap gerakan akan diberinya aba: Ana ini ning! Dorong! Nah, sangat bagus. Istirahatlah sebentar.

Matahari tidak ada lagi. Hanya kemerahannya masih tergambar dilangit. Maghrib, bisa ditunda sebentar. Keduanya mengikuti kayu itu. Masuk air. Taklah sulit bergaul dengan air sungai. Keduanya anak-anak desa yang bersahabat dengan air sejak Ibu mereka memandikanya yang pertama. Ada bayangan merah dalam air yang terguncang dan hilang. Air sungai itu ialah yang setenangnya yang pernah dia kenal. Agak dalam, membasah lebih sedikit dari perutnya. Balok kuning menghanyut dengan lena dipermukaan air. Tangan-tangna mereka menjaga arah. Arus dapat dengan mudah dihindarkan.

Bagian ini adalah tempat yang paling sepi dari dusun. Tak akan ada seorang pun melihatnya. Jauh disana terdengar suara riuh anak-anak. Tuhan, janga biarkan anak-anak itu sampai sungai! Sepotong kayu ini semata-mata untukMu. Aduh, mereka mendekat kesungai itu! Apa kerja mereka gelap macma ini kesungai, anak-anak tak tahu aturan! Dan, mereka berkerumun dipinggir, menonton. Mereka bertanya. Bah! Mereka mencopot pakaian, masuk ke air. Lelaki tua itu kebingungan. Anak-anak itu dibujuknya: “Sudah gelap macam ini, pulanglah.” “Kami akan naik kayu ini, Kek” Wah, anak-anak nakal! Air berkecipak kesana kemari. Kepala, rambut, telinga, dan sekujur badan tua itu tertampar air. Seperti air es, dinginnya? Anak-anak itu kegirangan. Ya, asal jangan bertanya untuk apa! Mengusir anak-anak? Tidak. Anak-anak itu naik baloknya. Kayu itu timbul tenggelam dalam air. Lelaki tua itu ingat, kenapa ia tidak ikut naik, toh bisa saja Pak Penebang itu disuruhnya mengatur arah dan dia naik. Kepinginnya seperti anak-anak itu ditahannya. Itu akan menertawakan. Anak-anak itu membasahi tubuhnya. maka, ia pun membalas mereka. Mereka membalasnya. Riuhlah sungai itu. Dalam gelap keramaian itu seperti suara-suara setan dalam gerumbul pohonan. Kecipak air mengalahkan suara malam: binatang-binatang entah dimana dalam tanah disela rerumputan menyembunyikan suaranya yang tenang dan terus-menerus. Suara-suara itu berseling dengan suara air dan teriakan anak-anak. Yang penting, ialah tetap membungkam pada anak-anak. “Bukan untukmu, Buyung, aku menebang pohon. Sebagai ganti jawaban, lelaki tua itu menakuti mereka dengan banjir”. Lihatlah, alangkah mendungnya. Terbawa banjir nanti, kalian. “Tak apalah, Kek. Kami ingin melihat laut”. Dasar anak-anak dusun nakal! Diingatnya, seperti itu jugalah masa kecilnya. Orang-orang tua adalah pemaaf-pemaaf. Ia menjadi senang dengan kehadiran anak-anak itu. Akhirnya anak-anak itu bosan juga. Mereka kembali ketepi, mengenakan pakaian, dan kabur dalam gelap pohonan.

Ketika itu tak ada cahaya merah pun di air dan dilangit, sampailah iringan itu kesebuah tempat, dekat dengan jalan ke desa-desa. Disitulah mereka aka berlabuh. Tidak terlalu sulit meminggirkan kayu itu. Untuk apa laki-laki kalau tidak bisa mengurus sepotong kayu! Mereka meminggirkan, diatas tanah berpasir itu mudah saja menarik dengan tali. Seperti kereta yang berjalan diatas tanah. Ya, kayu itu telah bergelimpang disana. Diatas pasir yang lembut. Selamat tinggal, kayu. Sampai besok pagi.

Menjelang malam, lelaki tua telah menyiapkan makan. Alangkah nikmat makan sesudah kerja keras. Dan lagi kegembiraannya yang besar. Siapakah yang menikmati makan dalam keadaan gembira. Pohon angka itu telah disana, dipinggir sungai. Makanlah selahapnya! Segera saja matanya mengantuk bukan main. Badannya dingin, segar. Enaknya tidur ialah dalam keadaan lelah. Segera saja tertidur: surau, balok kayu, penebang, istri, anak-anak, sungai. Ia tersenyum dalam pejam mata.

Inilah rencananya, yang sebentar diingatnya sebelum tetap yang pertama. Ia harus bangun pagi-pagi. Langsung saja ketepian sungai itu. Kemudian akan datang penebang dengan gerobak. Mereka akan mendorong gerobak itu bersama. Dan sebelum orang terbangun, kayu itu telah tersedia didepan gungukan tanah bakal surau itu. Tetapi hanya Tuhan dan malaikatNya yang akan dapat menjawab. Tidurlah.

Malam menjadi dingin. Udara lembab. Suara desir air sungai terdengar pelan. Ada suara-suara yang sangat dikenal: binatang-binatang malam di tanah, di rumputan, di air, di pohon, di udara. Pohon dusun merunduk dalam gelap. Makhluk inilah yang lebih banyak menggambarkan malam hari. Tenang dingin, daunan tertunduk. Seperti dunia ini adalah gundukan tanah dan tetumbuhan yang terlupakan. Tidak ada kehidupan diluar rumah.

Lelaki tua itu biasa bangun tepat pada waktu yang direncanakan. Orang tua dapat berbuat itu. Sarung dikerubutkan di tubuhnya, ia pun melangkah ke luar. Sesungguhnya tak akan ada yang melihat. Dia kenal betul dusunnya. Dengan mudah akan dicapainya pinggiran sungai itu. Kayu nangkaku, sebentar lagi, aku datang padamu.

Ada sebuah suara, apakah itu? Oh, kelontang gerobak. Sedikit kurang hati-hati penebang itu. Hati-hatilah, jangan dibangunkan orang. Kemudian dia senang setelah ternyata hanya sebentar gerobak itu terdengar. Dia masih juga menyesali itu, tapi tentulah bukan kesalahan pak penebang. Bagaimana pun hati-hatinya kau mendoorng, dibelokkan itu pasti berbunyi juga, banyak batu-batu menyembul dari tanah. Baiklah tidak ada suara-suara orang terbangun. Disini tempat masih akan sepi sampai orang bangun mengambil air ke kali, untuk mencuci atau mandi. Ya, lelaki tua itu sejak menjadi lebih tua, tidak lagi tahan air kali mengalir dingin ditubuhnya dalam udara pagi. Kalau dia kanak-kanak dan bukan lelaki tua, pasti dia akan merenangi sungai pagi itu.

Ia ingat istrinya. Juga andaikata dia dirumah menjelang subuh begini, dia akan membangunkannya. Sembahyang, pak muslim. Tuhan menunggumu. Panjangkanlah umurku, dalam ketuaan yang sehat. Pagi itu dia merasa sangat sehat. Sedikit pun tak ada dingin dalam tubuhnya. Itu berkat sarung, berangkali. Ya, tetapi juga, kegembiraannya menghilangkan rasa dingin dan segalanya! Lebih penting dari dingin adalah sepotong kayu.

Dia bayangkan bagaimana surau itu, dimana letak kayu dari pekarangan itu diletakkan. Tentu, orang akan suka lama-lama tinggal disurau. Kalau dipikir, tidak ada yang istimewa: Kayu itu tumbuh dari bumi Tuhan, dan sekarang kembali keapda Tuhan. Ketika itu dia masih kecil, bermain-main panjat diatas nangka. Alangkah baik dahan-dahan nangka itu dahulu untuk dipanjat. Sekarang, telah menjadi sebuah balok. Tentu kuningnya akan mengalahkan gelap malam.

Sementara orang kampung terkejut melihat kayu yang tiba-tiba datangnya itu, ia akan merokok pipanya di rumah. Lama-lama ia akan menghisapnya. Ya, kayu itu datang dari kebunku. Tetapi kalian tak boleh tahu. Kemudian kayu itu dipotong-potong jadi kecil. Atau, bukankah lebih baik digergaji besar-besar untuk tiang utama yang empat buah itu? Sesuka oranglah. Sebab, setelah kayu itu lepas dari tangannya, tak ada haknya lagi.

Kalaulah ia punya lebih banyak dari itu, akan dibawanya semua ke surau. Dipekarangannya hanya terdapat rumpun bambu dan sayuran. Seharusnyalah ia malu, hanya sedikit itulah yang dikembalikannya kepada Tuhan.

Tiba di jalan dekat pinggiran dusun, ia terus menuruni jalanan kesungai. Wah, nanti harus mendorong kayu itu lewat jalan menanjak macam itu. Ia banyak menyimpan tenaga setelah tidur yang lelap semalaman. Gerobak itu semakin dekat, menuruni juga jalanan ke sungai. Dia ingin lebih dulu sampai, itulah sebabnya ia cepat berjalan. Jelaslah yang akan dikerjakan. Menatap kayu itu sampai lama, sebagai ucapan selamat jalan. Dalam gelap dipinggir sungai seperti upacara terakhir pemberangkatan prajurit kemedan perang. Ataukah seperti penguburan. Aduh, tololnya, pelupa! Engkau lupa menyediakan arang untuk menulis alamat kepada siapa kayu itu diberikan. Tololnya! kembali? Itu lebih tolol lagi. Pelupa ialah yang sejelek-jeleknya orang! Patut, ia memukul-mukul kepalanya. Jangan keras, nanti pening, Pak. Biarlah.

Page 6 of 7
Prev1...567Next
Tags: cerpenkuntowijoyo
Previous Post

Texas A & M University Nobatkan Wakil Ketua MDMC Sebagai Alumni Berprestasi

Next Post

Haedar Nashir: Eksistensi PTM Makin Diakui Dunia

Related Posts

Keluarga yang Sederhana

Keluarga yang Sederhana

1 Oktober 2023
251
Ada yang Lebih Menenangkan dari Senjaku, Alaska

Ada yang Lebih Menenangkan dari Senjaku, Alaska

3 Maret 2023
309
Obat Sekaligus Luka

Obat Sekaligus Luka

9 September 2022
654
Uliran Tangan Mungil Sang Gadis

Uliran Tangan Mungil Sang Gadis

13 Juni 2022
238
Sahabat Masa Kecil

Sahabat Masa Kecil

1 Juni 2022
325
Teman Baru yang Seru!

Teman Baru yang Seru!

2 April 2022
459
Next Post

Haedar Nashir: Eksistensi PTM Makin Diakui Dunia

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TERDEPAN

  • Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    50 shares
    Share 20 Tweet 13
  • Said Didu Ingin Belajar kepada Risma Bagaimana Cara Melapor ke Polisi Biar Cepat Ditindaklanjuti

    42 shares
    Share 17 Tweet 11
  • Din Syamsuddin: Kita Sedang Berhadapan dengan Kemungkaran yang Terorganisir

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
  • Putuskan Sendiri Pembatalan Haji 2020, DPR Sebut Menag Tidak Tahu Undang-undang

    36 shares
    Share 14 Tweet 9
  • Kisah Dokter Ali Mohamed Zaki, Dipecat Usai Temukan Virus Corona

    36 shares
    Share 14 Tweet 9

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Anjungan

  • Profil
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kirim Tulisan
  • Pasang Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
      • LabMu
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • Catatan Hukum
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In