Tiba-tiba ia bangkit. “Demi Tuhan!”, ia berseru. “Celakalah yang menyiakan waktu!”. Ia ingat. Meski berbuat sesuatu. Berbaring bermalasan bukan pekerjaan muslim yang baik. Ia sudah mendengar kabar, orang kampung sedang mendirikan surau baru. Banyak orang telah menyediakan bahan. Telah terkumpul kayu, genting, kapur. Anak-anak madrasah mencari batu dan pasir ke sungai. Pantashkah baginya, muslim seumur hidup untuk bermalasan? Tidak. Berbaktilah kamu dijalan Tuhan dengan harta dan jiwamu! Ia gelisah. Kalau istrinya dirumah ia bisa mufakat. Seluruh kekayaannya, yaitu uang untuk makan, semuanya ada pada istrinya. Padanya hanya tinggal bahan-bahan makanan secukupnya sampai istrinya pulang. Apakah yang akan disumbangkan untuk pembangunan rumah Tuhan itu? Apakah karena istrinya tidak dirumah ia akan melewatkan kesempatan beramal? Tentu saja tidak. lelaki tua itu pun berpikir. Sebenarnya, pikirannya bisa pula jernih, hanya kebiasaan mendapatkan damprat dari istrinya telah membuatnya takut berpikir. Berpikir itu menyusahkan bagi lelaki tua macam dia.
Jadi, ia berdiri. Melepaskan pandangan keseluruh alam-rumah dan pekarangannya itu disebutnya seluruh alam dan turun dari serambi. Panas matahari mempermainkan daun-daun yang lincah oleh angin. Sekali-sekali berkas sinar jatuh ke punggung, menyengat. Ia senang. Menikmati kebebasannya dengan berjalan berjingkat, melangkahi tanaman sayur. Istrinya akan mengumpat kalau ia dirumah. Selalu ia cerewet apabila dilihatnya ia berjalan disela tanaman sayur itu. Padahal dia sendirilah yang mengatur tanaman. Dibelakang rumah adalah sungai. Air yang mengalir tenang itu sangat mempesona. Mana ada kesempatan menjenguknya lama-lama kalau istrinya dirumah! Ia tak pernah jemu bermain disungai. Hanya karena larangan isterinya, ia tak lagi bersahabat dengan air. Nanti masuk angin. Juga ia tak lagi mengail. Mengail adalah kerja bagi pemalas. Kadang-kadang istrinya menyuruh dia mencari ikan bukan dengan kail, tetapi dengan jala.
Ia berhenti. Didepannya berdiri sebuah pohon nangka. Pohon itu telah mati. Kayu itu cukup besar. Tertanam dekat pinggir sungai. Pucuknya telah mengering, tidak ada selembar daun pun tinggal. Bagus! kayu ini pantas untuk pembangunan surau itu. Kayunya kuning mengkilat. Tidak lagi perlu cat atau pelitur. Pelitur, bolehlah, sedikit saja. Dan kayu itu akan ditebangnya sendiri. Mudah saja. Kayu dikapak sampai putus. Kulitnya dikupas. Didorong kesungai. Lewat sungai itu akan diangkutnya. Dari tepi sungai hanya perlu sebuah gerobak dorong untuk sampai ketempat surau itu dibangun.
Istrinya tak akan tahu semuanya. Sesudah dia pulang barulah tahu, pekerjaan apa yang telah dibuat oleh suaminya! Betapa senang ia nanti, seorang perempuan tua yang saleh. Kayu itu kita sumbangkan untuk pembangunan rumah Tuhan, istriku. Istri akan senang, memuji syukur. Pada saat-saat terakhir dari hidup mereka, masih sempat juga beramal.
Ya, dia sendirilah yang menanam pohon itu. Dia sendirilah yang menyiram dengan air sungai. Alangkah suburnya dulu. Ayahnya akan memerintahkannya memanjat apabil nangka itu telah berbuah masak. Kematian pohon itu tak perlu pula disesalkan. Pohon itu akan diletakkan disuatu tempat terhormat: Rumah Tuhan. Setiap hari akan disaksikan orang-orang memuji kebesaran Tuhan dan RasulNya. Itu akhir yang baik bagi sebuah kayu! Jauh lebih baik daripada masuk tungku. Apalagi tungku orang kafir, yang memasak rizki haram! Itu sudah wajar, pohon itu ditanamnya dulu dengan mengucapkan nama Tuhan lebih dulu. Sebuah pohon nangka yang ditanam dengan tangannya, dibesarkan dengan tangannya, dan ditebang dengan tangannya! Ia akan membuktikan dengan benda yang nyata, sekali dalam hidupnya dapat juga ia menyumbang untuk Tuhan.