TAJDID.ID || Direktur Sabang Merauke Institute Syahganda Nainggolan mengatakan, UU No 2 Tahun 2020 adalah Undang-undang yang me-bypass seluruh kekuasaan yang selama ini terdistribusi menjadi terpusat di tangan Joko Widodo.
“Pengambilalihan kekuasaan oleh Jokowi ini adalah yang paling ekstrim di dunia,” ujar Syahganda Nainggolan ketika tampil sebagai pembicara dalam acara Serial Webinar KMPK (6) dengan tema “Menyoal Jaminan Kehidupan Sosial Masyarakat Dalam UU Korona No. 2/2020”, Sabtu (1/8/2020)
Di negara-negara lain memang banyak juga yang memanfaatkan isu pandamik ini untuk melakukan penguatan kekuasaan eksekutif, presiden dan lain-lain.
Tapi di Indonesia, kata Syahganda, sampai kemudian membuat Perppu. Ketika Jokowi mengumumkan pengakuan adanya Corona virus di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020, maka pada tanggal 30 Maret pada bulan yang sama dia langsung meng take-over seluruh kekuasaan yang dilindungi UUD 45, seperti BPK, DPR,
“Kita sepakat Jokowi terlalu cepat mengambil alih kekuasaan yang sebenarnya sudah menjadi konvensi, bahkan dilindungi oleh konstitusi kita,” tegasnya.
Berita terkait: Din Syamsuddin: Bantu Saudara Kita yang Zalim dengan Menghentikan Kezalimannya
Kemudian, lanjut Syahganda, pada sisi implementasi dapat dilihat, setelah Jokowi mengambilalih kekuasaan, tiga bulan kemudian, yakni bulan Juni Jokowi mengakui dia gagal. Gagal karena ia merasa bekerja sendiri. Itu dimumkannya sendiri, diupload videonya.
Sektor kesehatan misalnya yang dialokasikan RP 80 triliun, itu baru diserap 1,5 persen. Menurut Syahganda, kalaupun misalkan penyerapan ini dibantah oleh Srimulyani atau lainnya menjadi 4,9 persen per Juni dan Juli 2020, sesungguhnya itu tidak merubah fakta yang diomongkan oleh Presiden, bahwa penyerapan itu baru memang baru sekitar 1,5 atau 2 persen.
“Jadi sebenarnya, dari sisi itu saja kekuasaan Jokowi, walaupun dia telah merampok kekuasaan (dalam tanda kutip) yang seharusnya terdistribusi tadi, toh dia juga gagal me-delivery di sektor kesehatan,” sebut Syahganda.
Bukan cuma di sektor kesehatan, Syahganda juga melihat ada persoalan yang tidak kurang parah di sektor lain, seperti di sektor UMKM dan Bansos
Di sektor UMKM, kata Syahganda, rencana Jokowi misalkan untuk menyalurkan bantuan kredit masing-masing 2,4 juta kepada 12 juta dari 60 juta pelaku UMKM di Indonesia itu baru dirancang. Artinya baru September baru direalisasikan.
Belum lagi persoalan bansos. Menurutnya sejak tahun 2004 persoalan pokok bansos itu adalah belum adanya pemutakhiran data. Jadi ketika pertamakali diumumkan oleh Kantor Komenko Perekonomian bahwa dalam konteks pandemi akan memberikan bansos kepada hapir 30 juta keluarga.
“Waktu itu menurut mereka yang ada adalah data 12 juta. Akibatnya Jokowi mengalami kesulitan mendistribusikan bansos karena adanya sengkarut data.
Bahkan ditahap awal, Syahganda mengatakan ada kesan bansos ditunggangi oleh perusahan-perusahaan food yang besar.
“Misalnya, saya pernah ke kantor pos di Depok, saya melihat ada segudang tumpukan kardus berisi bansos. Lalu saya tanya petugas di situ isinya apa dan aja. Ternyata isinya 8 jenis, mulai dari mie, kecap, vitamin dan lain-lain yangsemuanya dari perusahan-perusahan terkenal. Jadi 8 item itu sebenarnya tidak menguntungkan rakyat kecil di sekitar bansos itu di salurkan,” ungkapnya
Jadi sebenarnya, menurut Syahganda tiga bulan pertama Maret, April dan Juni bansos tahap satu disalurkan itu yang untung sebenarnya pabrik-pabrik besar.
“Seharusnya kalau kita kemampuan, uang itu harus disebarkan di tengah masyarakat supaya dampak dari bansos itu bisa menghidupkan pertumbuhan ekonomi di masyarkat bawah,” sebutnya.
Indonesia Sudah Kolaps
Dari pelbagai persoalan yang muncul terkait penangan bencana sosial akibat pandemi Covid, Syahganda menyebut sebenarnya ini sudah di luar kemampuan Jokowi.
“Artinya, kapasitas pemerintah sekarang tidak mampu,” ujarnya.
Sembari membeberkan sejumlah data dari sejumlah lembaga penelitian tentang kondisi terkini ekonomi Indonesia, Syahganda menyebut negara sekarang ini sudah bangkrut.
“Jadi kalau masih ada orang yang percaya negara sekarang masih sehat-sehat saja, menurut saya ini adalah membodohi diri sendiri. Menurut saya negara ini sudah kolaps. Kalau misalkan negara udah kolaps, sedangkan pemerintahnya tetap bertahan, atau misalkan terus berusaha membangun dinasti, ini merupakan celakanya bagi bangsa Indonesia,” kata Syahganda.
Tapi, kata Syahganda, masyarakat tidak bertanggungjawab terhadap nasib negara dan pemerintah. Oleh karenanya, Syahganda mengusulkan agar masyarakat mulai memikirkan alternatif dan jangan terlalu berharap kepada pemerintah.
“Saya usul, alangkah baiknya mulai sekarang kita menginisiasi misalnya gerakan ketahanan pangan di tengah-tengah masyarakat. Inilah hal yang paling ringan yang bisa kita lakukan,” katanya.
Selain itu, Syahganda juga menyarankan agar melakukan pekerjaan-pekerjaan langsung ke rakyat.
“Misalnya satu orang kaya mau untuk membina sebuah komunitas masyarakat miskin, sehingga mereka nantinya tidak kelaparan,” kata Syahganda.
***
Webinar yang dipandu Sekjen KMPK Auliya Khasanofa ini menghadirkan sejumlah pembicara, seperti Prof. Dr. Siti Zuhro (Peneliti Senior LIPI) , Ir Memet Sosiawan, ME (DPP PKS), Mufidah Said SE MM (PB Wanita Al Irsyad), Yahya Al Jahri (Pemerhati Sospol) dan Dr Marwan Batubara (KMPK).