Perpres JKN 59/2024 Dinilai Komersialisasikan Hak Kesehatan Warga
TAJDID.ID~Medan || Penerapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan menuai kritik keras dari kalangan advokat konstitusi. Aturan yang mewajibkan seluruh rumah sakit mitra BPJS Kesehatan menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) paling lambat 30 Juni 2025 ini dinilai mengancam prinsip keadilan sosial dan hak konstitusional atas layanan kesehatan.
Shohibul Anshor Siregar, Sekretaris Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN), menyebut bahwa semangat komersialisasi dan pendekatan neoliberal dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) semakin kentara dalam Perpres ini.
“Pemerintah telah secara sadar menempatkan pelayanan kesehatan sebagai komoditas pasar. Kelas Rawat Inap Standar disebut sebagai ‘standar minimum’, ini menunjukkan pengabaian terhadap prinsip ekuitas dan keadilan sosial dalam jaminan kesehatan,” ujar Siregar kepada TAJDID.ID, Rabu (10/7/2025).
“Standar Minimum” Bertentangan dengan UU SJSN
Siregar menyoroti definisi KRIS dalam Pasal 1 angka 4b Perpres 59/2024 yang menyatakan bahwa “Kelas Rawat Inap Standar adalah standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh peserta.” Menurutnya, penggunaan istilah minimum bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Pasal 19 ayat (1) UU SJSN menegaskan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, bukan prinsip efisiensi minimal.
“Makna ‘standar’ dalam jaminan sosial harus dimaknai sebagai kualitas layanan yang seragam, layak, dan esensial. Bukan batas minimum yang bisa diturunkan sesuai tekanan fiskal,” tegasnya.
Tertinggal dari Amanat Undang-Undang
Pasal 23 ayat (4) UU SJSN juga telah mewajibkan pemberian layanan rawat inap berdasarkan kelas standar. Namun, hingga Perpres JKN 59/2024 ini diterbitkan, pengertian kelas standar itu sendiri belum pernah dirumuskan secara operasional. Baru pada tahun 2024, pemerintah menetapkannya melalui Pasal 46A dengan 12 indikator kriteria ruangan. Meski demikian, hingga kini peraturan teknis melalui Permenkes belum juga rampung.
Siregar menilai lambatnya penyusunan regulasi ini menunjukkan kegagalan manajerial dalam menunaikan mandat perlindungan konstitusional warga atas hak kesehatan.
“Sudah lebih dari 10 tahun sejak JKN berjalan, hak rakyat atas layanan standar masih belum dibereskan. Ini bukan keterlambatan teknis, tapi kegagalan politik dan moral,” ujarnya.
Sistem Bertingkat Langgar Prinsip Ekuitas
Menurut Siregar, sistem tiga kelas rawat inap (kelas I, II, III) selama ini justru menciptakan fragmentasi pelayanan dan diskriminasi berbasis kemampuan bayar. Ia mencontohkan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang hanya berhak atas kelas III, sering kali mengalami kesulitan mendapatkan tempat tidur dan tidak dapat naik kelas karena larangan subsidi silang.
“Sistem multi-kelas ini menciptakan kesenjangan layanan, padahal prinsip gotong-royong dalam Pasal 4 huruf a UU SJSN menuntut solidaritas lintas kelas sosial,” jelas Siregar.
Dibanding Kanada: Indonesia Jauh Tertinggal
Siregar membandingkan sistem JKN Indonesia dengan sistem universal health coverage milik Kanada. Melalui program Medicare, Kanada menjamin seluruh warga mendapat akses pelayanan kesehatan tanpa biaya langsung (upfront cost) untuk semua layanan medis yang esensial. Tidak ada sistem kelas, tidak ada diskriminasi berdasarkan iuran.
“Kanada menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan adalah hak universal, bukan opsi berdasarkan status ekonomi. Kita bisa belajar dari model single-payer mereka,” kata Siregar.
Dalam sistem Kanada, seluruh pembiayaan dilakukan melalui pajak dan dikelola publik, sehingga tidak ada kebutuhan membedakan layanan berdasarkan segmen iuran. Efisiensinya pun terbukti lebih tinggi, dengan biaya administrasi jauh lebih rendah dibanding sistem yang menggabungkan publik-swasta seperti Indonesia.
Desak Koreksi dan Reformasi Sistem
Siregar menegaskan bahwa pemerintah harus segera memperbaiki Perpres 59/2024 dengan: Pertama, menghapus kata “minimum” dalam definisi KRIS.
Kedua, menyusun Permenkes tentang implementasi KRIS secara partisipatif dan transparan.
Ketiga, menetapkan tarif dan iuran tunggal berbasis prinsip solidaritas dan ekuitas;
Keempat, menjamin hak seluruh peserta atas pelayanan rawat inap esensial tanpa diskriminasi.
“Kalau negara gagal menyediakan kelas rawat inap standar yang layak dan setara, itu bukan hanya kegagalan administrasi, tapi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi,” tutup Siregar. (*)