Oleh : Budi Nurastowo Bintriman
Pemimpin itu sudah pasti elit, karena memimpin bukan pekerjaan mudah dan sederhana. Maka dipastikan, hanya figur-figur tertentu yang mampu memimpin. Pemimpin yang sudah pasti elit itu juga dipastikan sangat berkecenderungan kepada sikap elitis. Hanya sedikit pemimpin elit yang bersikap populis. Hampir semua kepemimpinan berlangsung begitu.
Mari kita bahas kepemimpinan pada konteks Indonesia!
Siapa yang tak mengakui kharisma Sukarno sebagai presiden pertama Indonesia? Kharisma yang terbentuk sejak di zaman perjuangan kemerdekaan. Perjuangan untuk memerdekakan rakyat atau bangsa Indonesia dari cengkeraman dan penindasan Belanda dan Jepang. Gerak perjuangan kemerdekaan yang tentu dilandasi oleh rasa senasib dan seperjuangan (semangat populis).
Sukarno bersama pejuang-pejuang lainnya memimpin dan menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang dengan menanggalkan sikap elitisnya. Begitu pula saat di awal kepemimpinannya. Namun memasuki masa dekade ke dua kepemimpinannya, ia mulai bersikap elitis. Gerak-gerik politisnya hanya terkosentrasi pada nafsu untuk pelanggengan kekuasaannya. Maka “dwi-tunggal” (bersama Hatta) menjadi dwi-tanggal. Fenomena sikap elitis Sukarno itu jauh-jauh hari, sesungguhnya sudah disinyalir oleh Tan Malaka (baca buku “Menuju Merdeka 100%” karya Tan Malaka).
Tahun 1966, Sukarno “ditumbangkan” oleh Suharto atas nama rakyat Indonesia (populis). Pada masa orde lama kepemimpinan Sukarno, rakyat menderita karena lebih banyak dijejali jargon-jargon kosong ideologis. Jargon-jargon ideologis yang kekiri-kirian. Oleh Suharto, semua penderitaan rakyat itu disembuhkan dengan jargon-jargon “pembangunan – pemerataan – dan stabilitas sosial-politik”.
Baca juga: Rekonstruksi Jalan Pikiran Dakwah Muhammadiyah
Presiden Suharto yang elit menebar senyum ramah kepada seluruh rakyat Indonesia di mana-mana. Ia dielu-elukan sebagai pemimpin merakyat. Prestasinya membangun SD di seluruh pelosok negeri, angka kelahiran turun drastis dengan program KB, swa sembada beras, rajin dialog dengan petani dalam kemasan KELOMPENCAPIR, pengaruh besarnya di ASEAN dan di Asia, dan lain sebagainya.
Di awal dekade ke empat kepemimpinannya, Suharto kerasukan nafsu berkuasa sama dengan Sukarno. Suharto ingin berkuasa “seumur hidup”. Para elit dikumpulkannya untuk secara halus mendukung keberlanjutan kepemimpinannya. Suharto yang elit tapi populasi akhirnya terjebak pula dalam kubangan elitisme.
Sebagian besar rakyat Indonesia yang jengah selama lima tahun terakhir, melakukan perlawanan, dan hingga kemudian mampu menggulingkan Suharto. Sebagian besar rakyat itu kecewa dan marah terhadap Suharto. Di mana-mana Suharto dicaci-maki oleh sebagian besar rakyatnya sendiri. Padahal dahulunya, ia dikenal dengan hati rakyat kebanyakan. Ia kemudian buta, kalap, dan mabok kekuasaan karena di lingkupi oleh para elit pengkhianat.
Kekuasaan atau pemerintahan atau kepemimpinan Suharto bangkrut mengenaskan terlindas gerakan reformasi Mei 1998. Tatanan reformasi yang agak baru kemudian menggantikan tatanan orde baru. Produk-produk politik berupa penegakan hukum, penguatan sipil, desentralisasi, pencegahan korupsi yang demokratis banyak bermunculan. Suasana berbangsa dan bernegara seolah hendak memberi harapan segar dan optimisme.
Namun tiga pilar orde baru (ABRI – Birokrasi – Golkar) bangunan karya Suharto tak benar-benar terkubur. Mental para elit di era reformasi nyaris tak berbeda dengan mental para elit di era orde baru. Akibatnya beberapa rezim yang berkuasa di era reformasi terbukti tak mampu memperbaiki nasib bangsa Indonesia. Korupsi justeru semakin menggila dan merajalela di era reformasi.
Baca juga: Agama dan Politik
Khusus di masa pemerintahan atau kepemimpinan Joko Widodo, kebobrokan orde lama, keburukan orde baru, dan kebusukan orde reformasi berkelindan secara jahat, masif, dan licik. Joko Widodo ternyata juga punya niat berlama-lama menjadi “Raja Jawa” di Indonesia. Segala cara telah ia upayakan bersama begundal-begundal elitisnya, namun menemui jalan buntu.
Kini bersama sisa-sisa begundal-begundal elitisnya, Joko Widodo hendak terus melanggengkan kekuasaannya dari dalam dan dari luar istana. Begundal-begundal elitis Joko Widodo “dipimpin” langsung dan tidak langsung oleh Gibran Rakabuming Raka. Gerak-gerik politis Joko Widodo yang sembunyi-sembunyi dan atau yang cetho welo-welo sudah tak malu-malu lagi dilakukannya.
Citra Joko Widodo yang awalnya dulu populis (me) rakyat jelata, ndeso, dan kere, kini telah berubah 180 derajat. Ia berubah menjadi drakula politik yang haus darah kekuasaan. Darah rakyatnya yang kurus kering pun dihisapnya habis-habisan. Segala aturan bisa ia tabrak seenaknya dan semau-maunya dengan segala cara. Sementara pasukan buzzer bayarannya selalu disiapkan untuk memoles citra populisnya dan citra keberhasilannya yang penuh tanda tanya bercetak tebal.
Pada musim pilkada tingkat II dan tingkat I begini, Joko Widodo yang tak punya partai politik getol menitipkan orang-orangnya ke banyak daerah. Ia juga tak segan-segan memaksa Prabowo untuk mengkampanyekan orang-orang titipannya. Prabowo yang gagah, kaya, pintar, dan berkuasa dibuatnya seperti ayam sayur nan gemoy. Ia manut-manut saja mengkampanyekan Luthfi dan Yasin di pilgub Jawa Tengah.
Itulah politik tanpa nilai bisa tumbuh subur dan berkembang di daerah-daerah. Apapun bisa dilakukan untuk politik kekuasaan. Begitu pula strategi dan taktik politik Prabowo. Tinggal kemudian bagaimana membungkusnya dan tinggal bagaimana mengemasnya. Bagi tokoh-tokoh (bukan politikus) di daerah banyak yang larut dalam euforia pilkada tersebut. Politik nir etika dan politik nir nilai sudah tak digubris lagi. Semua hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pragmatis duniawiyah.
Baca juga: Kaderisasi Politik Muhammadiyah
Yang sangat membingungkan adalah terlibatnya kader-kader ormas keagamaan yang aktif mendukung calon-calon kepala daerah tertentu dari “peternakan” Joko Widodo dan Prabowo. Mau tidak mau, predikat mereka sebagai kader ormas juga “menyeret-nyeret” keberadaan ormasnya di daerah. Akibatnya, keberadaan ormas di daerah nyaris tak beda dengan underbow koalisi partai-partai politik pendukung pasangan calon. Situasi dan kondisi beginilah yang bikin miris, karena keberadaan ormas Islam jadi turun merwahnya dan terendahkan martabatnya.
Para kader ormas keagamaan itu silau terhadap gemerlapnya pilkada. Para kader ormas keagamaan gagap dalam menyikapi polesan-polesan memikat pasangan calon kepala daerah. Rekam jejak kepemimpinan politik Tanah Air dari sejak awal merdeka hingga kini, selalu berwarna paradoksal. Pada ujung-ujungnya, rakyat selalu dalam posisi sebagai korban bagi para elit pemimpin.
Para pasangan calon getol mengkampanyekan kepemimpinan ideal. Itulah yang kemudian diikuti para kader ormas keagamaan. Namun nyatanya setelah jadi pemimpin, semua pemimpin sibuk mencari keadaan “balik modal”. Dan setelahnya, sibuk memperkaya diri. Apakah para kader ormas keagamaan tidak belajar dari fakta-fakta sejarah tersebut?
Penulis juga sebagai kader, berpesan wanti-wanti kepada mereka, agar tetap tegak lurus kepada konstitusi Persyarijatan “Kepribadian Muhammadiyah” dan “Khittah-Khittah Perjuangan Muhammadiyah”!
Jika keadaannya hanya sedemikian itu, maka keberadaan kader ormas keagamaan tak beda jauh dengan fenomena buih. Ia hanya menjadi mainan ombak belaka, yang akhirnya tercerai-berai meski banyak jumlahnya. Maka hilanglah makna kesejatian kader. Itu sebagaimana yang telah disitir Rasulullah SAW 15 abad yang lalu dalam Hadis shahihnya tentang “wahn”.
Wallahu a’lam bishshawwab… (*)
Banyudono Boyolali, Sabtu 23 November 2024, jam 16.30
Penulis adalah mubaligh akar rumput Persyarikatan, ber-NBM : 576.926