Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Tanpa diberi menu khusus tentang penajaman keterampilan politik melalui kaderisasi formal, selama ini banyak kader Muhammadiyah yang terorbit ke lembaga legislatif maupun eksekutif. Jika hal itu dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk sementara dari partisipasi politik, maka dapatkah itu dioptimalkan dan apa basis pemikiran untuk itu?
Terasa menjadi relevan mengajukan pertanyaan, bagaimana jika Muhammadiyah merancang kurikulum pendidikan politik sebagai bagian dari kaderisasinya?
Tidak elok kader Muhammadiyah menjadi politisi alami yang bermodalkan kecenderungan bakat belaka. Sebaliknya dengan jalan kaderisasi, kader Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik dirancang wajib memahami nilai-nilai profetik dan determinan sejarah yang menjelaskan tujuan pendirian negara.
Perfect State in The Real State
Soekarno berkelakar meminta “selimuti jasadku kelak dengan bendera Muhammadiyah”. Soeharto pada Muktamar Aceh mengaku “saya anak didik Muhammadiyah”. Soedirman menjadi jenderal dan Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia pertama berkat didikan Muhammadiyah.
Banyak orang terselamatkan melalui dakwah Muhammadiyah yang digerakkan oleh almarhum KH Ahmad Dahlan, baik melalui usaha-usaha formal mau pun informal dan non-formal dalam pendidikan, pemberdayaan dan pencerahan Muhammadiyah. Generasi-generasi penerus KHA Dahlan terus melancarkan dan memperluas usaha, tak terkecuali untuk mengusir penjajah dan mempersiapkan software negara Merdeka Indonesia melalui keterlibatan penuh dalam BPUPKI, PPKI dan lain-lain.
Setelah Indonesia merdeka, Muhammadiyah dan sejumlah organisasi jihadis pendiri negara itu dengan sukarela pula menyerahkan negara dan pemerintahan Indonesia merdeka itu menjadi urusan publik sembari menunjukkan trend “mundur” ke amal usaha milik sendiri yang terus menuntut pengembangan.
Akibatnya organisasi-organisasi jihadis pendiri negara termasuk Muhammadiyah terus-menerus mengalami degradasi posisi yang tajam dalam urusan politik dan pemerintahan. Bahkan banyak bukti yang menunjukkan keterpelantingan dari urusan politik karena dianggap tak kompeten atau bahkan dianggap tak sepatutnya mengurusi dunia politik.
Fenomena paling menyedihkan ialah konsekuensi politik yang memosisikan organisasi-organisasi jihadis pendiri negara itu menjadi maf’ul bih di negeri yang dimerdekakannya. Ia dianggap anti nasionalisme ketika mengeluh mengapa seorang calon pemimpin, Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden tak paham Islam dan cenderung hanya mengkapitalisasi status formal keislaman sebagai artikulasi politik yang malah dapat merendahkan.
Ia dituduh hendak melakukan makar untuk mendirikan khilafah ketika memperjuangkan regulasi yang mengindahkan kemaslahatan umat seperti UU jaminan produk halal yang disahkan pada masa akhir pemerintahan SBY-Budiono namun cenderung ditelantarklan oleh pemerintahan Jokowi-JK dan Jokowi-Ma’aruf.
Lebih menyedihkan tuduhan politik identitas yang begitu dahsyat untuk menakut-nakuti orang Islam dalam menjalankan kewajibannya sebagai negarawan yang bertanggungjawab untuk memastikan kemaslahatan Indonesia.
Antara Mengalter Negara dan Mengadvokasi Negara
Hingga kini Muhammadiyah masih merasa dirinya bekerja di sebuah “negara lain” dan karena itu dakwahnya banyak yang secara substantif mengalter kebijakan pemerintah. Ia terus-menerus mengembangkan lembaga pendidikan sendiri, juga amal lain dalam bidang kesehatan, sosial dan lain-lain.
Apa salahnya semua itu? Pemerintahan yang sekarang adalah lanjutan pemerintahan yang didirikan untuk Indonesia merdeka, bukan pemerintahan kolonial. Karena itu Muhammadiyah harus mengisinya seoptimal mungkin agar pemerintahan itu konsisten dengan cita-cita pendiriannya. Memang hal itu tidak mudah, karena akses yang diciptakan oleh sistim demokrasi yang dianut tak selalu ramah terhadap nilai-nilai kebangsaan dan keumatan yang dikebangkan tanpa lelah oleh Muhammadiyah.
Akhirnya terasa bahwa legalframework yang diciptakan untuk membangun sistim demokrasi dan politik itu terlembaga tanpa sedikit pun beroleh pengawasan proporsional dari Muhammadiyah. Akibatya terpaksa muncul aksi-aksi mirip pemadam kebakaran ketika Muhammadiyah menilai regulasi telah diciptakan, misalnya, untuk melindungi kejahatan korporasi yang menentang konstitusi. Banyak contoh kegagalan Muhammadiyah dalam aksi koreksional ini.
Kaderisasi Politik dan Hak Istimewa
Rancangan kaderisasi politik sangat diperlukan, dan pengarusutamaannya harus pada penanaman nilai profetik dan keterampilan dan seni (art) dalam memperjuangkan maslahat umat.
Meski sangat terlambat, Muhammadiyah tak elok terus-menerus menganggap seolah pemerintahan itu milik orang lain selain dirinya. Sejarahnya sendiri menunjukkan andil kepemilikan dan pertanggungjawaban sebagaimana ditegaskan oleh konsepsi baldah thayyibah wa rabbun gafur yang secara teknis dijelaskan dalam dokumen ringkas Dar Al Ahdi Wa Asyyahadah yang dihasilkan oleh Muktamar 47 Makassar (2015).
Lebih jauh Muhammadiyah bersama organisasi-organisasi jihadis pendiri negara sudah sangat perlu menyadari hak-hak istimewanya dalam ikut-serta penyelenggarakan pemerintahan. Bagaimana caranya?
Legalframework demokrasi dan politik Indonesia harus dirombak secara radikal sehingga memberi hak keterwakilan organisasi-organisasi jihadis pendiri negara dan organisasi berintegritas lainnya untuk direkrut ke lembaga legislatif seluruh tingkatan (Kota, Kabupaten, Provinsi dan Nasional) tanpa pemilu. Jumlahnya setara dengan jumlah legislator yang sekarang.
Dengan cara itu oligarki sebagai kendala politik Indonesia akan memiliki saingan kuat dalam merancang masa depan Indonesia. Produk legislatif kelak akan benar-benar menjadi pengejawantahan aspirasi rakyat, bukan kesepakatan partai anti demokrasi dan anti keadilan sosial dengan pemodal.
Mungkin akan ada orang yang bertanya, apakah pola itu identik dengan demokrasi? Demokrasi itu adalah apa yang kita inginkan secara legitimatif, bukan apa yang dipaksakan oleh negara dan lembaga lain seperti Amerika, PBB, UNDP, IMF. Bank Dunia dan lain-lain yang lebih melihat urusan di Indonesia sebagai kelanjutan imperialisme belaka.
Penutup
Kaderisasi bermenu keterampilan politik harus menanamkan nilai bahwa Muhammadiyah itu telah mencatatkan sejarahnya yang tak terbantahkan sebagai sebuah fenomena yang pernah menjadi perfect state in the real state di negeri Hindia Belanda. Negara sempurna di dalam sebuah realitas negara jajahan Belanda itu dengan segenap keterbatasannya melancarkan pekerjaan yang menunjukkan obligasi fungsi-fungsi negara.
Karena itu Muhammadiyah harus menganggap politik seakan riyadah orang saleh belaka yang bertujuan merealisasikan cita-cita pendirian negara. Kader Muhammadiyah wajib didorong untuk perjuangan politik dan mempersiapkannya dengan baik. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PWM Sumut