Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Ketua LHKP PWM Sumut
Salah satu fakta jalan pikiran dakwah Muhammadiyah seabad lebih adalah kegamangan dalam mengadopsi Islam secara kaffah.
Meski selalu disebut bersumber al~Qur’an dan as~Sunnah, namun dalam jejak dakwah melalui amal usahanya Muhammadiyah sangat sepi sektor tertentu yang asal-muasalnya memang tak dikehendaki oleh kolonial.
Snouck Hurgrobje takut politik Islam, maka ia ingin jangan ada cita-cita ke arah itu pada bangsa jajahan.
Akibatnya, sebagai inlander, setinggi pemikiran Muhammadiyah tentang politik akhirnya hanyalah artikulasi subordinatif atas budaya demokrasi yang bertumbuh sekitar abad 17 dan kemudian berkembang meluas seiring kolonialisme.
Muhammadiyah akan takut berbicara khilafah, karena kebencian terhadap konsep itu tak hanya ada pada pemangku budaya sinkretik nasional dan sekularis serta pedagang Islamofobia. Tetapi juga bersemi dalam ruang pikiran global jauh sebelum perang salib.
Banyak orang Muhammadiyah tak sadar bahwa Indonesia adalah komunitas terluas umat Islam dunia yang dijajah dan pada saatnya para mujahid memerdekakan sebagai bentuk khilafah sesuai sila pertama Pancasila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Itu bukan keputusan voting dan AA Maramis tidak merasa tertekan dalam menyetujui Piagam Jakarta.
Wertheim, penulis Belanda, menegaskan watak minoritasisme mayoritas muslim Indonesia karena terus disudutkan sepanjang masa. Derita itu berlanjut.
Dalam ekonomi umat Islam Indonesia sangat menderita di tengah kekayaan luar biasa yang dikelola secara kolonialistik. Muhammadiyah takut menjadikan tema itu dalam gerakan dakwahnya sehingga akan lebih fokus pada lakon sebagai maf’ulun bih, pelengkap penderita saja.
Dunia tahu Muhammadiyah organisasi terkaya. Namun aset itu berasal dari iuran (anggota dan peserta didik) zakat, infaq, sadaqah, hibah, dan bantuan pemerintah. Muhammadiyah tidak mengumpulkannya dengan aktivitas ekonomi produktif.
Dengan jumlah lembaga pendidikannya semestinya Muhammadiyah memiliki industri pendidikan yang bergerak dalam bidang pengadaan kebutuhan pendidikan (uniform, buku alat tulis dll).
Menyadari krisis pangan, Muhammadiyah mestinya meminta sejuta hektar lahan pertanian kepada pemerintah. Saat ini di Makassar ada industri pengolahan jagung. Untuk Indonesia itu termasuk langkah luar biasa.
Besarnya kampus Muhammadiyah di Jawa dan di pusat kebudayaan lain di luar jawa adalah mekanisme brain drain yang tak peka atas disparitas yang menyuratkan kekerasan struktural pengabadian penjajahan.
Jadi jika sekarang Joko Widodo menawarkan IUP kepada Muhammadiyah dan diprotes oleh banyak orang, maka sebetulnya terdapat dua masalah.
Pertama, itu bagus karena akan membantu Muhammadiyah memerankan diri sebagai Islam kaffah yang tak menghindari urusan ekonomi.
Kedua, dengan stimulus Joko Widodo ini mestinya Muhammadiyah berijtihad untuk perluasan kekaffahan Islam yang dipahami dan ingin dilaksanakannya.
Jangan menunggu instruksi lanjutan dari Joko Widodo dan Prabowo dan Presiden-presiden selanjutnya.
Mungkin Muhammadiyah akan sangat kewalahan. Tetapi ia harus membuktikan diri di jalan yang benar. (*)