TAJDID.ID || Proses seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia (selanjutnya disebut Capim KPK) pada tahun 2024 telah melalui serangkaian tahapan, ada berbagai tantangan terkait sosok yang lolos dalam seleksi Pansel serta kepentingan dalam penetapannya.
Keputusan final mengenai pimpinan KPK periode 2024-2029 akan bergantung pada proses lanjutan di DPR dan kemungkinan pertimbangan dari pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, dimana dalam pertimbangannya tidak ada yang berubah dari tahapan pemilihan Capim KPK yang ditetapkan oleh periode presiden Joko Widodo yang sarat kontroversial.
Menanggapi polemik tersebut, Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH & Ketua STIH PTM) Se-Indonesia menilai persoalan Capim KPK kedepan memiliki persoalan legitimasi proses seleksi yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, mengingat masa jabatannya di ambang masa berakhir pada saat itu.
“Tendensi yang jauh dari sikap negarawan tersebut nyatanya menjadikan Capim KPK yang terpilih memiliki rekam jejak yang tidak baik dan memiliki agenda pemberantasan korupsi yang lemah, keluarnya 10 nama ini, jelas terbukti bahwa Pansel pun tidak mengerti akar persoalan KPK hari ini,” ujar Dr Faisal SH MHum, Ketua Fordek FH & Ketua STIH PTM dalam keterangan persnya, Kamis (7/11).
Fordek FH & Ketua STIH PTM menegaskan, Masalah fundamental seperti kapasitas, integritas, independensi politik, dan rekam jejak tidak boleh mengandung “cacat” sedikitpun.
“Sayangnya, tidak satupun dari seluruh nama pilihan pansel memiliki rekam jejak baik dalam pemberantasan korupsi. Situasi ini justru berpotensi untuk menambah bencana pemberantasan korupsi ke depan,” ungkap Faisal yang juga Dekan FH UMSU ini.
Berdasarkan laporan berbagai organisasi masyarakat sipil, Fordek FH & Ketua STIH PTMA mencatat ada sejumlah Capim KPK yang kontroversial.
Pertama, Johanis Tanak, yang sebagai Wakil Ketua KPK periode 2019-2024 memiliki kekayaan yang fantastis dengan kenaikan kekayaan yang patut dipertanyakan. Tanak juga diduga pernah melanggar kode etik karena pertemuan dengan tersangka kasus suap penandatanganan perkara di Mahkamah Agung, yakni mantan komisaris PT Wika Beton, Tbk., pada 28 Juli 2023. Johanis Tanak diduga mengirim pesan atau chat kepada PLH Dirjen Minerba Kementerian ESDM pada 27 Maret 2023 yang menimbulkan konflik kepentingan karena KPK sedang memeriksa dugaan korupsi di Kementerian ESDM dan mengeluarkan pernyataan yang merugikan dan merendahkan KPK dalam kasus Korupsi Basarnas di tahun 2023.
Selain hal yang disebutkan diatas, Johanis Tanak pernah menyampaikan permintaan maaf atas Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kepala Basarnas dan menganggap para penyidiknya melakukan kekeliruan.
Selanjutnya ada Ibnu Basuki Widodo, yang saat ini masih menjabat sebagai Hakim Pemilah Perkara Pidana Khusus Mahkamah Agung/Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Jumlah kekayaannya dalam LHKPN mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu tahun 2020 sejumlah Rp 2,1 Miliar, naik menjadi Rp 4,1 Miliar di tahun 2023. Ibnu Basuki bahkan pernah memvonis bebas terdakwa korupsi dalam kasus pengadaan alat laboratorium IPA MTs di Kementerian Agama tahun 2010, melarang peliputan media massa dan jurnalis dalam siaran langsung persidangan kasus megakorupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto saat menjabat sebagai Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Desember 2017.
Beberapa Capim KPK yang bermasalah lainnya, diantaranya Fitroh Rohcayanto dari Kejaksaan Agung, dalam seleksi wawancara, Fitroh meyakini bahwa kemunduran KPK bukan karena Revisi Undang-Undang KPK melainkan perilaku yang menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat. Djoko Poerwanto, Kapolda Kalimantan Tengah yang dalam seleksi wawancara tidak mengetahui apakah istrinya menjadi komisaris di PT MSK.
Fordek FH & Ketua STIH PTM mengingatkan, berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XX/2022, putusan tersebut mengamanatkan bahwa pembentukan panitia seleksi (pansel) Capim KPK dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK 2024-2029, seharusnya dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto, bukan oleh Presiden sebelumnya Joko Widodo.
Menurut Fordek FH & Ketua STIH PTM, disinilah keberpihakan politik-hukum Presiden Prabowo Subianto diuji, komitmen awal pemerintahannya yang menyatakan akan menjadikan prioritas pemberantasan korupsi seharusnya bersamaan dengan upaya pemilihan Capim KPK 2024-2029 yang bermasalah ini untuk diatasi.
Maka berdasarkan pertimbangan yang matang, Fordek FH & Ketua STIH PTM se Indonesia menyatakan sikapnya.
- Meminta diterbitkan Perpu untuk perubahan Undang-Undang No.19 tahun 2019 agar mengembalikan KPK sebagai Lembaga anti-korupsi independent dan berintegritas.
- Mengembalikan proses pemilihan Capim KPK periode 2024-2029 kepada kewenangan Presiden Prabowo, dan meminta Presiden baru memiliki komitmen politik-hukum yang kuat dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia dengan tidak meloloskan Capim KPK yang bermasalah
- Meminta seluruh PTMA se-Indonesia, khususnya Fakultas Hukum dan STIH PTM seIndonesia untuk melakukan kajian akademik mendalam serta pengawasan terhadap rekam jejak Capim KPK 2024-2029 yang dilakukan saat ini dan dapat dituangkan dalam tulisan popular, policy brief, atau produk akademik yang lain.
“Itulah sejumlah poin tanggapan Fordek FH & Ketua STIH PTM soal polemik Capim KPK. Semoga masa depan hukum, HAM, dan lingkungan hidup kedepan semakin lebih baik kedepan,” pungkas Faisal. (*)