TAJDID.ID~Yogyakarta || Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH & Ketua STIH PTM) Se-Indonesia menilai situasi demokrasi di Indonesia menghadapi masa krisis, yang ditandai adanya berbagai upaya pembajakan dan pengabaian terhadap Putusan MK.
Pertama, strategi memuluskan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah meskipun belum memenuhi syarat usia pencalonan kepala daerah.
Pengabaian dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait ambang batas partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dan penghitungan syarat usia calon kepala daerah dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
“Upaya pengabaian ini dilakukan untuk mengakali Pilkada 2024 agar di sejumlah daerah, terutama Daerah Khusus Jakarta, dapat didominasi KIM+ tanpa kandidat kompetitor yang riil, dan melawan kotak kosong,”
jelas Fordek FH & Ketua STIH PTM dalam keterangan pers tertulisnya yang ditandatangan Dr Faisal SH MHum (Ketua) dan Satria Unggul WP SH MH (Sekretaris), Kamis (22/8).
Menurut Fordek FH & Ketua STIH PTM, 0engabaian dan manipulasi atas Putusan MK yang seharusnya menjadi oase ditengah demokrasi Indonesia yang memburuk, nyatanya akan dijalani oleh Presiden dan DPR dengan merevisi sejumlah ketentuan UU Pilkada dalam waktu singkat dan serampangan guna menganulir garis-garis batas konstitusional yang diterbitkan MK, yang direncanakan pada hari Rabu, 21 Agustus 2024.
Pada Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU- XXII/2024, MK menafsirkan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang semula mengatur persyaratan ambang batas pengusungan pasangan calon kepala daerah berdasarkan perolehan kursi dan suara di Pemilu DPRD, menjadi berdasarkan perolehan suara sah dalam pemilu pada provinsi/kabupaten/kota berdasarkan rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap, dengan persentase yang setara dengan persentase pada pencalonan perseorangan. Ketentuan tersebut memberikan keadilan dan kesetaraan kompetisi bagi seluruh partai politik, baik yang memperoleh kursi di DPRD maupun yang tidak memperoleh kursi di DPRD, serta membuka peluang hadirnya calon kepala daerah alternatif untuk bertanding melawan dominasi koalisi gemuk.
Sehari setelah putusan, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2024, Panja Baleg DPR-RI, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Daerah tengah membahas revisi Undang-Undang Pilkada.
Revisi Undang-Undang Pilkada ini sesungguhnya sudah lama menggelinding di Senayan. Tapi Baleg tiba-tiba mempercepat pembahasannya setelah putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala dearah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada mengenai bata usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya, ambang batas pencalonan yaitu didukung minimal 20 persen partai politik pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Lalu ambang batas itu diubah menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 sampai 10 persen dari total suara sah. Angka persentase dukungan partai ini disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi, kabupaten, maupun kota. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon.
Fordek FH & Ketua STIH PTM melihat, praktik pembangkangan konstitusi dan unjuk gigi kekuasaan yang eksesif tanpa kontrol yang berarti dari lembaga legislatif telah dipertontontan oleh Presiden Jokowi beserta partai pendukung Koalisi Indonesia Maju plus, mengabaikan makna konstitusionalisme yang salah satunya tentang menghindari praktik absolutisme kekuasaan yang harus dibatasi.
Rezim yang otokratis ini kembali melanggengkan otokrasi legalisme untuk mengakumulasikan kekuasaan dan mengonsolidasikan kekuatan elit politik hingga ke level pemerintahan daerah. Upaya demikian mendelegitimasi Pilkada 2024 sejak awal, sebab aturan main Pilkada diakali sedemikian rupa untuk meminimalisasi kompetitor dengan menutup ruang-ruang kandidasi alternatif, memborong dukungan koalisi gemuk partai politik, dan memunculkan kandidat boneka agar mengesankan kontestasi pilkada berjalan dengan kompetisi yang bebas, adil, dan setara.
Fordek FH & Ketua STIH PTM menegaskan, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan melakukan pengujian undang undang terhadap UUD NRI 1945, yang putusannya bersifat final dan mengikat, serta sifat berlakunya sesuai dengan asas erga omnes.
Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi telah tertutup segala bentuk upaya hukum dan harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Pemerintah sekalipun.
Berdasarkan pertimbangan yang matang, maka dari itu Forum Dekan Fakultas Hukum dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan tinggi Muhammadiyah se Indonesia menyatakan sebagai berikut:
1. Hentikan segala bentuk pembangkangan konstitusi, Pilkada 2024 seharusnya menjadi momentum yang kuat untuk melaksanakan pemilihan umum yang langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil secara substansial
2. Presiden dan DPR menghentikan pembahasan Revisi UU Pilkada dan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024.,
3. Menyerukan untuk melakukan berbagai gerakan sipil yang relevan untuk menolak praktik pembajakan hukum yang dilakukan oleh Presiden, DPR, beserta koalisi partai politik pendukung yang dilakukan di seluruh Indonesia
4. Meminta seluruh PTMA se-Indonesia, khususnya Fakultas Hukum dan STIH PTM se- Indonesia untuk melakukan kajian akademik mendalam terkait dengan praktik pembajakan legislasi yang dilakukan saat ini dan dapat dituangkan dalam tulisan popular, policy brief, atau produk akademik yang lain
Mengakhiri pernyataan sikapnya, Fordek FH & Ketua STIH PTM berharap semoga masa depan hukum, HAM, dan lingkungan hidup kedepan semakin lebih baik kedepan. (*)