TAJDID.ID~Medan || Belakangan ini, isu Putra Daerah sudah tidak relevan lagi bagi sebagian kalangan, termasuk organisasi kepemudaan berbasis kesukuan. Misalnya, Himpunan Mahasiswa Simalungun di Pematangsiantar menyebut putra daerah atau putra asli Pematangsiantar tidak menjamin dia mengabdi dan berniat memajukan Pematangsiantar.
Menanggapi pandangan tersebut, pemerhati politik Shohibul Anshor Siregar mengatakan, pendapat dan pernyataan itu benar untuk sebagian dan selebihnya amat berisiko.
“Pilkada itu urusan otonomi daerah. Kandidat harusnya mengenal daerah yang akan dipimpinnya, dan masyarakat daerah juga harus mengenal kandidat yang akan memimpin mereka,” tegas Shohibul yang merupakan Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ini, Senin (8/7/2024).
“Jadi, jika era otonomi daerah masih mengandalkan dropping kandidat dari daerah lain, itu berarti pengakuan atas kegagalan pemerintah dan seluruh stakeholder dalam menjalankan filosofi dan prinsip otonomi daerah itu,” imbuhnya.
Shohibul menegaskan, memperoleh pemimpin yang berintegritas adalah hak konatitusional daerah, dan itu nyaris mustahil dipenuhi dengan mekanisme dropping.
Karena itu, menurut Shohibul, solusi terbaik ialah menyuarakan secara nasional bahwa: Pertama, pilkada bukan agenda rutin memilih calon yg ditentukan oleh pimpinan parpol di Jakarta yang umumnya hanya memberlakukan dua syarat, yakni uang persembahan dan faktor kedekatan.
Kedua, kalangan civil society di daerah teŕmasuk organisasi sosial kemaayarakatan perlu diajak melakukan konvensi rakyat untuk mengevaluasi kepemimpinan 5 tahun berlalu, mengidentifikasi permasalahan kontemporer dan merumuskan kerangka pemikiran yang mengerucut menjadi Program Prioritas 5 tahun ke depan.
“Selain itu konvensi rakyat juga perlu merumuskan legacy yang harus diwariskan kepada kepemimpinan berikutnya,” kata Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut ini.
“Karena itu RPJPD dan RPJMD harus dibaca kritis ketimbang berkutat pada arus politik yang mengglorifikasi figur A dan figur B dan C,” tambahnya.
Elit di Jakarta, lanjut Shohibul, juga wajib disadarkan bahwa daerah, termasuk Simalungun, bukanlah “wilayah jarahan” tak ubahnya dulu van der Capellen mengklaim wilayah kaya raya ini sebagai miliknya.
“Justru merdeka itu harus diwujudkan dengan positioning kedaulatan rakyat, jangan justru mengulangi mekanisme kolonial yang tak memberi sesuatu atas perbaikan nasib rakyat,” kata Shohibul.
“Isu paling krusial Indonesia saat ini adalah konsolidasi kepemimpinan konstitusional dan itu wajib disuarakan sekeras-kerasnya dari Simalungun,” pungkasnya. (*)