Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Jika hak angket ada pada rakyat, dan bukan cuma milik wakilnya (DPR) saya rasa sedari dulu sudah harus dijalankan berkali-kali.
Karena, jika hak angket itu adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka lebih dari cukup alasan untuk itu terjadi setiap tahun.
Jika saya tak keliru, hak angket itu bukan sesuatu yang perlu dipersepsikan negatif Pada era Presiden Soekarno hak angket pertama kali digunakan pada tahun 1950-an untuk menyelidiki penggunaan devisa oleh pemerintah sesuai dengan UU Pengawasan Devisen tahun 1940. Meski hak angket ini tidak berlanjut hingga terbentuk kabinet hasil Pemilu 1955, namun catatan sejarah menunjukkan dinamika politik berkepemihakan atas demokrasi dan kepentingan rakyat.
Presiden Soeharto juga pernah mengalami. Hak angket yang dijalankan untuk keduakalinya dalam Sejarah Indonesia ini, dimainkan pada tahun 1980. Waktu itu untuk menyelidiki kasus Pertamina yang menyangkut. Namun, hak angket ini ditolak oleh Sidang Pleno DPR.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid hak angket dimainkan untuk ketiga kalinya pada tahun 2000. Kita ingat waktu itu sasarannya ialah untuk menyelidiki kasus Bulog dan sumbangan sultan Brunei (Buloggate dan Bruneigate) yang melibatkan Presiden Wahid. Hak angket ini berujung pada pemakzulan Presiden Wahid pada tahun 2001.
Presiden Megawati Soekarnoputri pun pernah disasar. Hak angket keempat kali itu digunakan pada tahun 2002 untuk menyelidiki dana nonbujeter Bulog yang diduga disalahgunakan. Hak angket ini tidak berdampak signifikan karena putusan pengadilan sudah lebih dulu memvonis pejabat yang terlibat kasus itu.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hak angket kelima kali digunakan pada tahun 2006 untuk menyelidiki penjualan kapal tanker Pertamina.
Hak angket keenam kali digunakan pada tahun 2008 untuk menyelidiki penyelesaian kasus BLBI. Hak angket ketujuh kali digunakan pada tahun 2009 untuk menyelidiki Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2009.
Hak angket kedelapan kali digunakan pada tahun 2010 untuk menyelidiki kasus Century.
Hak angket-angket ini tidak menghasilkan temuan yang berarti karena dianggap sebagai upaya politik untuk menggoyang pemerintahan SBY.
Jika hak angket kali ini terlaksana, maka Presiden Joko Widodo akan mencatat keduakali baginya. Sebab, sebelumnya, tahun 2017, hak angket kesembilan kali digunakan untuk menyelidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus e-KTP yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto. Hak angket ini dianggap sebagai benturan kepentingan antara DPR dan KPK. (*)