Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Di hati masing-masing komunitas pendukung ketiga Pasangan Calon Calon Presiden (Paslon Capres) terdapat harapan dan penantian yang sama dalam penantian debat ketiga, tetapi dengan jalan pikiran berbeda.
Ketiga komunitas pasti sama-sama berharap paslon dukungannya menang. Perbedaan mereka terletak pada pendefinisian menang dan prosedur menang. Meski untuk semua elit dari ketiga komunitas terdapat ukuran yang relatif sama, yakni harapan menang secara elegan, namun ekspresi di antara mereka pasti akan berbeda.
Apalagi ketika akan berhubungan dengan pembentukan opini publik, retorika akan dibangun berdasarkan kepentingan klaim menang sebagai sesuatu yang berada di atas segalanya. Di sini mereka akan menunjukkan betapa berusaha mengekspresikan kepiawaian berbohong itu sangat penting.
Karena mereka pada dasarnya berwawasan dan berpengalaman dalam berbagai urusan negara dan pemerintahan, maka sesungguhnya mereka pun sangat menyadari seberapa sumir klaim kemenangan yang mereka buat. Perbedaan derajat “penderitaan batin” di antara elit ketiga komunitas terletak pada kebiasaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang biasa berbohong akan terus berbohong hingga ia sendiri kerap hilang kesadaran tentang apakah ia sedang berbohong atau tidak.
Pada tingkat pendukung awam urusan utamanya bukan pada apa isi gagasan yang saling diperbenturkan dalam debat. Melainkan apa yang harus ditepuktangani dari fakta-fakta perdebatan. Ukuran menang yang digunakan akan merujuk pada keterbatasan literasi mereka untuk urusan negara dan pemerintahan.
Komunitas ini dapat disebut sebagai para true believer atau para diehard follower. Mereka nyaris tak bisa bergeser dari pujaan. Ciri utamanya ialah kadar ketertorehan fanatisme yang tak terbentuk tiba-tiba dan kemungkinan besar terkait dengan orientasi ideologi.
Angka undecided voter masih besar di Indonesia hingga saat ini. Merekalah sebetulnya sasaran debat Capres. Dengan kadar kemampuan rasionalitas mereka terus akan memperbaharui argumen untuk kecenderungan pilihan hingga pada akhirnya memberi suara di TPS.
Anda bisa menebak narasi Capres mana yang paling efektif menentukan pilihan mereka? Simpan saja dalam hati sambil berusaha ikut memperjuangkan integritas pemilu 2024. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU