Oleh: M. Risfan Sihaloho
Dalam novel sosialnya yang berjudul “Felix Holt: The Radical”, George Eliot, penulis terkemuka Inggris dari era Victoria mengungkapkan sesuatu yang sangat menarik tentang pemilihan umum. Penulis yang aslinya merupakan seorang perempuan dengan nama Mary Ann Evans ini menuliskan; “Pemilihan umum datang lagi. Perdamaian universal dikumandangkan, dan para rubah muncul menunjukkan keinginannya yang tulus untuk memperpanjang hidup kawanan unggas (yang sebenarnya akan menjadi santapannya)”
Bagi penulis, yang menggelitik dari kutipan di atas adalah, Eliot sungguh tepat memilih “rubah” sebagai metafora sosok para politisi yang lagi bertarung berebut kursi kekuasaan dan memilih “unggas” sebagai tamsil khalayak calon pemilih (hoi polloi) dalam pesta demokrasi pemilu.
Dalam konteks Pemilu, baik Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), perumpamaan tersebut sepertinya juga sangat relevan. Rubah itu tak lain adalah para calon wakil rakyat dan pasangan kandidat yang bertarung. Sedangkan unggas adalah khalayak rakyat yang akan jadi pemilih (voter).
Rubah
Seperti apa sebenarnya tabiat dari hewan bernama rubah itu? Secara umum rubah dikenal sebagai hewan memiliki kemampuan beradaptasi dan berempati yang luar biasa. Rubah bisa hidup dalam segala musim dan lingkungan, bahkan bisa dekat dengan kehidupan manusia.
Selain itu rubah juga dikenal sebagai hewan pemburu yang memiliki tiga kelebihan, yakni penciuman, pendengaran dan penglihatan yang sangat tajam. Dalam berburu, rubah diketahui sangat gesit dan lihai menarik perhatian mangsanya. Dan satu hal lagi, rubah juga terkenal karena kelicikan dan kerakusannya.

Persis seperti sifat rubah di hadapan mangsanya, begitu jugalah kiranya tabiat yang galib ditunjukkan para calon pemimpin di hadapan rakyat calon pemilih. Tiba-tiba mereka bersikap dan berperilaku serba dan amat protagonis; jadi ramah, murah senyum, bersahaja, penuh empati, dermawan, alim dan sebagainya. Semua itu sengaja mereka lakukan tak lain untuk merebut dan mencuri simpati pemilih agar tertarik memilih mereka.
Dalam rangka merebut hati rakyat, dapat dipastikan semua calon akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjejali rakyat dengan bualan janji, dengan harapan rakyat akan dapat diyakinkan, sehingga akhirnya rakyat menjatuhkan pilihan kepada mereka.
Kemudian mereka juga akan berlomba-lomba melakukan pencitraan untuk mendapatkan espektasi yang positif dari publik. Dalam setiap kesempatan mereka selalu mengaku pro dan cinta rakyat. Tak jarang juga mereka sesumbar akan mempersembahkan surga kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyat jika nanti mereka terpilih.
Namun, bercermin dari pengalaman selama ini, layakkah hal itu dipercaya? Adalah fakta empiris yang tak dapat dipungkiri, bahwa tradisi suksesi kekuasaan di negeri ini selalu berjalan konstan; di awal selalu menyuguhkan manis “harapan”, namun belakangan kemudian melulu mempersembahkan pahit “kekecewaan”. Hal seperti itu terjadi berkali-kali dan berulang-ulang, harapan selalu bertolak belakang dengan kenyataan.
Jika nanti sudah resmi berkuasa, faktanya yang mereka lakukan justru sebaliknya. Begitu para politisi itu memegang tampuk kekuasaan, yang mereka lakukan sama saja, kebijakan mereka cenderung tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Bahkan sang penguasa dengan modal legitimasi yang didapatnya justru kemudian menekan, mendikte dan mengacuhkan rakyat yang telah memberikannya legitimasi. Terlebih jika legitimasi tersebut didapatnya lewat proses transaksi, sang penguasa akan merasa tak punya utang yang harus ia bayar kemudian. Maka ia pun dengan leluasa dan sesuka hati menjalankan kekuasaannya.
Tak heran kemudian banyak penguasa yang bermuka dua. Di depan rakyat, penguasa selalu bersikap manis, baik dan tulus, namun dibelakang rakyat, penguasa itu mengkhianatinya. Korupsi, tindakan asusila dan kriminal pejabat, baik di pusat maupun di daerah senantiasa menjadi pemberitaan yang jamak dan ramai menghiasi halaman media massa setiap hari di republik ini.
Unggas
Secara umum unggas adalah jenis hewan sangat adaptif yang bisa hidup di sembarang tempat, asalkan tersedia makanan baginya. Unggas juga dikenal sebagai hewan yang jinak dan hidup berkelompok, sehingga unggas sering jadi hewan ”peliharaan”. Karena sudah terbiasa dipelihara, unggas sudah kehilangan kemampuan terbang yang baik, mereka lebih banyak menghabiskan waktu hidup di habitatnya yang sudah dikondisikan dan direkayasa oleh si pemeliharanya.

Contoh unggas yang memiliki karakter yang paling mudah untuk dipelihara dan dikendalikan adalah bebek. Jenis unggas ini memang dikenal sangat suka berkumpul dan berjalan beriring-iringan. Karena sifatnya ini, kawanan bebek sangat gampang untuk diarahkan dan dimobilisir kemanapun, sesuai keinginan yang menggering. Itu pulalah sebabnya mengapa ada istilah “membebek” untuk menyebut orang suka mengikuti sesuatu atau orang lain secara membabibuta (taqlid).
Demikian juga halnya dengan rakyat awam politik, nasib mereka tak jauh beda dengan unggas. Selain suka berkerumun, rakyat awam politik juga sangat rentan untuk dimobilisir dan dipolitisir. Dengan segenap keluguan dan keterbatasannya, terutama secara kemampuan ekonomi dan pemahaman politik, maka rakyat lebih sering jadi obyek yang sering dieksploitasi oleh para pemburu kekuasaan.
Anehnya, meskipun sudah sering jadi korban pembodohan politik, rakyat justru tak pernah kapok dan sadar dengan sesadar-sadarnya untuk kemudian tak mau lagi dibodohi oleh para politisi. Mereka memang sering mengaku kecewa karena telah dikhianati, tapi kekecewaan itu tak pernah berlangsung lama dan tak pernah berubah menjadi sebuah sikap resistensi. Ketika kemudian kembali dirayu oleh para politisi, mereka pun dengan gampangnya takluk dan lupa pernah berkali-kali dikhianati.
Jika mentalitas rakyat masih seperti unggas, maka dapat dipastikan para calon kepala daerah yang agresif seperti rubah tersebut tak akan mendapatkan kesulitan yang berarti untuk menaklukan dan meringkus mangsanya. Para caleg, capres dan cakada tinggal umbar janji, tebar pesona dan sedikit bagi-bagi materi, maka khalayak pemilih akan mudah ditaklukkan.
Di dalam hajatan demokrasi Pemilu, dikenal ada tiga elemen pengaku kepentingan (stakeholder) yang memiliki peran strategis, yakni Parpol, Penyelenggara Pemilu dan Rakyat. Di antara ketiga stakeholder tersebut , terbukti selama ini rakyatlah sebenarnya yang paling lemah dan nyaris tak memiliki determinasi. Bahkan rakyat justru lebih sering jadi objek yang memang selalu “dihitung”, tapi sama sekali tak pernah “diperhitungkan”.
Penutup
Meskipun diasosiasikan dengan unggas, setidaknya jadilah kawanan unggas yang cerdik, yang tidak gampang ditaklukkan para rubah. Jangan pernah buru-buru percaya terhadap rubah, karena sampai kapanpun rubah tetaplah rubah yang selalu siap menjadikan kawanan unggas sebagai mangsa santapannya.
Artinya, sudah saatnya rakyat harus mau dan mampu menjadi subjek dalam kehidupan demokrasi. Sesekali rakyat perlu memberi pelajaran kepada para politisi dan pemimpin, bahwa tidak selamanya “suara rakyat” itu bisa diperjualbelikan secara murah.
Dengan demikian, harus segera disadari, bahwa agenda Pileg, Pilpres dan Pilkada bukan hanya ajang untuk sekedar berpartisipasi, tapi lebih dari itu mestinya bisa dimanfaatkan oleh rakyat sebagai instrumen perjuangan untuk merubah dan memperbaiki nasibnya secara lebih mandiri.
Dan harus diingat, seperti dikatakan Paul Collier; pemilih (voter) memang menentukan siapa yang akan berkuasa, tetapi mereka tidak menentukan bagaimana kekuasaan digunakan.
Jadi, agar kelak tak kecewa, caranya sederhana, jadilah pemilih yang cerdas, kritis dan rasional. (*)
Penulis adalah Pemred TAJDID.ID.