TAJDID.ID~Jakarta || Komunitas Kawal Suara Rakyat Jakarta menyelenggarakan FGD dengan tema “Politik Dinasti untuk Siapa?”. kegiatan yang dilaksanakan di Antikopi UMJ Jakarta ini dikuti puluhan mahasiswa.
Adapun narasumber yang tampil adalah Akbar Jihad, seorang akademisi dan pengamat demokrasi dan Dham Romadhon, seorang pengamat politik dan hukum.
Dalam pengatarnya, moderator Munte menjelaskan sedikit soal politik dinasti membawa sebuah frame yang berdasarkan keturunan dan sedarah yang menimbulkan kekuasaan tersebut mengikutsertakan keluarga untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dijelaskannya, menurut Machiavelli sangat penting bagi kelompok penguasa yaitu menciptakan kestabilan politik yang kokoh dan mempertahankan kekuasaannya selama mungkin. Halal menurutnya dalam mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara dalam tujuan mulia hanya untuk menjaga, kestabilan politik.
“Jalan menuju kestabilan politik yaitu dengan menciptakan dinasti politik karena mudah dalam mempertahankan kekuasaannya dengan menciptakan pemimpin dari satu keturunan yang bisa diberikan intruksi sebagaimana keinginan pemimpin sebelumnya,” ujarnya.
Melihat fenomena menuju pemilu 2024 disinyalir telah terjadi sebuah dinasti politik timbul akibat upaya untuk mempertahankan kekuasaan dalam upayanya untuk melindungi kepentingannya. Sebab jika tidak melakukan hal tersebut akan mengalami kemerosotan jika elite dalam kelas politik tidak bisa mempertahankan kekuasaan mayoritas yang sebelumnya diraih.
“Pada dasarnya manusia memiliki naluri untuk serakah dan ingin saling menguasai, karena manusia selalu kurang puas terhadap sesuatu yang diraihnya sehingga untuk mewujudkan hal yang kurang tersebut manusia akan melakukan hal apapun untuk memenuhi keinginannya dan termasuk untuk berkuasa dalam pemerintahan khususnya dalam pemerintahan desa dengan melakukan regenerasi kekuasaan yang turun menurun,” jelasnnya.
Akademisi dan pengamat demokrasi Jakarta Akbar Jihad dalam paparannya mengungkapkan, dinasti politik di Indonesia bukanlah hal yang baru, dimana sejak dari jaman orde baru sampai dengan era pemerintah indonesia maju fenomena itu terus ada, bahkan semakin meningkat baik itu yang terjadi di percaturan politik daerah maupun percaturan politik pusat. Politik dinasti telah menimbulkan adanya ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan politik.
Menurutnya, negara demokrasi sejatinya harus membuka kran politik seluas mungkin untuk memastikan rakyat terlibat aktif dalam proses politik. Ruang partisipasi untuk masyarakat dalam kontestasi politik regional hingga nasional harusnya sangat terbuka. Namun faktanya, dengan munculnya politik dinasti telah menghambat partisipasi masyarakat karena status atau hak sosialnya yang jauh berbeda dengan keluarga petahana.
“Politik dinasti telah merusak makna demokrasi yang sejati, yakni kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” katanya.
“Politik dinasti juga memunculkan pragmatisme politik dengan mendorong famili atau kerabat penguasa untuk menjadi pejabat publik,” imbuhnya.
Ia juga menyinggung soal eksistensi para elit politik. Dijelaskannya, elit adalah sejumlah kecil orang yang memiliki semua atau hampir semua tanggung jawab dalam masyarakat. Definisi Aristoteles tentang elit adalah konfirmasi lain dari klaim Platon terhadap prinsip dasar teori demokrasi elitis klasik bahwa keputusan besar di semua masyarakat dibuat oleh minoritas.
“Kita sangat menyayangkan beberapa fenomena politik dinasti di Indonesia saat ini apalagi menuju pemilu 2024 yang sudah semakin dekat,” ujarnya.
Sementara itu, menjawab pertanyaan dari peserta FGD, pengamat politik dan hukum Jakarta Dham Romadhon menjelaskan, bahwa dinasti politik terbentuk karena adanya jaringan kekuasaan yang menyebar dan kuat di sebuah daerah.
“Saat jaringan tersebut mendukung dinasti politik yang berkuasa, akan memungkinkan lahirnya kekuasaan absolut. Kalau kekuasaan itu absolut, logikanya, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan semakin besar. Menguatnya jaringan politik yang dibangun oleh dinasti politik berdasarkan kedekatan politik keluarga menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-orang di luar dinasti. Fenomena di atas, boleh jadi sebagian orang menganggap wajar, namun sebagian lagi menganggap hal itu distorsi atau tekanan terhadap demokrasi,” jelasnya.
Menurut Dham, demokrasi yang pada dasarnya, menuntut konsolidasi demokrasi membutuhkan lingkungan demokrasi yang mendukung. Munculnya fenomena dinasti politik akan mengancam fase transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik. Unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan maupun masyarakat politik.
“Unsur penting lainnya dalam konsolidasi demokrasi adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut nilai-nilai politik yang bisa mendekatan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama transisi menuju demokrasi,” paparnya.
Kegiatan ini dimulai pada pukul 20.00 wib bertepatan di jakarta, berlangsung selama 3 jam 30 menit di aula meeting room anti kopi umj jakarta dan berlangsung aktif. Beberapa peserta sangat antusias untuk diskusi dan bertanya namun waktu yang tidak memungkinkan pada forum tersebut sehingga harus diakhiri pada pukul 23.30 WIB dan acara ditutup. (*)