Oleh: Rizali Rusydan
Ketua Umum PK IMM FISIP UMSU
Seorang pemimpin—apapun levelnya—pasti memiliki pengaruh. Baik ucapannya maupun tindakannya. Semua itu karena kekuasaan juga kekuatan ada di genggamannya.
Kita pernah membaca atau mendengar kisah tentang seorang pemimpin sekte sesat yang karena ucapannya berhasil meminta para pengikutnya untuk melakukan bunuh diri masal. Ada juga pemimpin sekte di Jepang yang dapat memerintahkan terror melalui jemaahnya.
Mengutip apa yang diucapkan oleh Lord Acton Baron, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.” Ucapan tersebut secara gamblang sudah menjelaskan bahwa kekuatan/kekuasaan itu cenderung rusak apalagi kekuasaan/kekuatan yang absolut sudah pasti lebih merusak. Begitulah gambaran Presiden kita hari ini Bapak Ir. H. Joko Widodo.
Di akhir bulan Mei lalu, Presiden mengumpulkan para pemimpin redaksi berita. Setelah perkumpulan tersebut beliau mengucapkan secara terbuka bahwasannya, “Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu saja dalam arti yang positif,” ucap Jokowi. Lalu beliau juga mengucapkan, “Saya tidak akan melanggar aturan, tidak akan melanggar undang-undang, dan tidak akan mengotori demokrasi,” imbuhnya.
Bahkan di salah satu wawancarannya kembali Jokowi Kembali mengucapkan, “Tolong dipahami ini demi kepentingan nasional, memilih pemimpin pada 2024 sangat krusial penting sekali, harus tepat dan benar,” ucap Jokowi seperti dikutip Kompas.com di hadapan para pemimpin redaksi dari Forum Pemred di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Menurut Guru Besar Ilmu Linguistik UGM Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana beliau menjelaskan, kata cawe-cawe berarti ikut menangani. Menurut Putu, cawe-cawe memiliki makna netral dan tidak selamanya berkonotasi negatif. Konotasinya bergantung pada konteks yang digunakan. “Negatif dan positifnya tergantung dari konteks pemakaiannya,” kata dia.
Seorang Presiden memang memiliki tanggung jawab untuk cawe-cawe atau turut membantu, turut ikut serta untuk urusan pemilu terlebih dalam hal pelaksanaan demi terciptanya pemilu yang adil dan transparan namun tidak dengan intervensi politis.
Meskipun mengatakan bahwa beliau tidak akan melanggar peraturan, hal ini semakin menunjukkan bahwa sikap Pak Jokowi tidak konsisten. Sebab, jauh hari sebelum itu beliau mengundang para petinggi partai koalisi untuk berdiskusi di istana. Meskipun beliau hanya berdalih itu hanyalah sebuah diskusi bukanlah sebuah upaya cawe-cawe kekuasaan, namun kita dapat mencium aroma busuk dari sana. Kalaupun beliau berdalih diskusi tersebut membahas soal kepentingan bangsa dan urgensinya, mengapa tidak mengundang dari pihak oposisi? Sampai di sini paham, bukan?
Meskipun banyak yang sudah mengklarifikasi ucapan beliau perihal cawe-cawe, mulai dari Menteri Sekretaris Kabinet, Ketua Umum PBNU, Ketua Umum PKB, beserta garis relawan dan pendukungnya, tetap saja hal tersebut sudah membuat gaduh. Di sini membuktikan bahwa ucapan seorang Pemimpin memang sangat berpengaruh apalagi jika itu selevel Presiden.
Seharusnya Presiden bisa mengucapkan segala sesuatu secara singkat, jelas, padat, dan mudah dipahami. Sebab dari 16 ribu percakapan di media social, mayoritas menganggap bahwa cawe-cawe yang diucapkan beliau merupakan pernyataan untuk ikut mengintervensi secara politis di pemilihan selanjutnya, ucap Rektor Universitas Paramadina di acara Crosscheck Metro TV. Sehingga hal tersebut menimbulkan asumsi di tengah-tengah masyarakat, “Mengapa Presiden bisa berkata demikian? Apa maksud di baliknya?” padahal sebelumnya beliau sudah duduk-manis berkumpul dengan petinggi partai koalisi.
Kendati beliau menyebutkan ingin cawe-cawe di pemilihan tahun ini demi kepentingan nasional, kenapa tidak mengatakannya secara langsung dan terbuka lalu ditujukan kepada MK, intelijen, aparat pengaman negara, KPU, dan KPK?
Cawe-cawe yang dilakukan Jokowi sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Sebagai Kepala Negara, Jokowi memiliki sumber daya yang luar biasa. Baik itu dari segi pengaruh kekuasaan dan kekuatan. Beliau mempunyai sumber daya yang luar biasa yang kalau digunakan itu berbahaya, seperti: birokrasi, intelijen dan lainnya. Seandainya cawe-cawe yang dimaksud itu ternyata negatif, maka tida ada bedanya kita dengan zaman orde baru lalu.
Di Pemilu tahun 2014, Jokowi menulis surat terbuka kepada Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk melaksanakan pemilu secara adil dan jujur. Kini kita hanya tinggal menanti sekaligus menagih janji Jokowi: akankah beliau bersikap adil dan jujur di pemilihan umum tahun ini? Sebab beliau adalah pertugas partai—merujuk apa yang diucapkan oleh Ketua Umum Partai PDI-P: Megawati—seolah itu adalah upaya beliau untuk mendiskreditkan beliau.
Kelak kita tagih janji, ide, dan gagasan Jokowi soal pemilu nanti. Sebab ide dan gagasan hanya bisa diuji oleh waktu dan konsistensi. Bila mana janji, ide, dan gagasan tersebut berubah menjadi lebih buruk di kemudian hari, maka tak usah sungkan lagi mengatakan beliau adalah seorang hipokrit sejati. (*)