Oleh: Muhammad Rizqy Farhan
Ketua Bidang Hikmah PK IMM FISIP UMSU
Lord Acton Baron pernah berkata, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.” Ucapan tersebut secara gamplang sudah menjelaskan bahwa kekuatan/kekuasaan itu cenderung rusak apalagi kekuasaan/kekuatan yang absolut sudah pasti lebih merusak. Begitulah gambaran Presiden kita hari ini Bapak Ir. H. Joko Widodo.
Di akhir bulan Mei lalu, Presiden mengumpulkan para pemimpin redaksi berita di Istana Negara. Setelah perkumpulan tersebut beliau mengucapkan secara terbuka bahwasannya, “Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu saja dalam arti yang positif,”.
Bahkan beliau kembali menekankan, “Tolong dipahami ini demi kepentingan nasional, memilih pemimpin pada 2024 sangat krusial penting sekali, harus tepat dan benar,” ucap Jokowi seperti dikutip Kompas.com di hadapan para pemimpin redaksi dari Forum Pemred di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Mengutip dari laman KBBI, cawe-cawe berarti ikut membantu atau ikut serta. Cawe-cawe memiliki makna netral dan tidak selamanya berkonotasi negatif. Konotasinya bergantung pada konteks yang digunakan. Negatif dan positifnya tergantung dari konteksnya.
Presiden mengucapkan sesuatu yang cukup meresahkan. Tidak eksplisit dan ibarat bola liar, hal tersebut dapat diinterpretasikan secara keliru.
Seharusnya Presiden bisa mengucapkan segala sesuatu secara singkat, jelas, padat, dan mudah dipahami. Sebab mayoritas menganggap bahwa cawe-cawe yang diucapkan beliau merupakan pernyataan untuk ikut mengintervensi secara politis di pemilihan selanjutnya. Sehingga hal tersebut menimbulkan asumsi di tengah-tengah masyarakat, “Mengapa Presiden bisa berkata demikian? Apa maksud di baliknya?” padahal sebelumnya beliau sudah duduk-manis berkumpul dengan petinggi partai koalisi.
Di sini kita mencium bau busuk. Sebab, jauh hari sebelum statemen tersebut, beliau mengundang para petinggi partai koalisi untuk berdiskusi di Istana Negara. Meskipun beliau hanya berdalih itu hanyalah sebuah diskusi bukanlah sebuah upaya cawe-cawe kekuasaan.
Seorang Presiden memang memiliki tanggung jawab untuk cawe-cawe atau turut membantu, turut ikut serta untuk urusan pemilu terlebih dalam hal pelaksanaan demi terciptanya pemilu yang adil dan transparan namun tidak dengan intervensi politis.
Kendati beliau menyebutkan ingin cawe-cawe di pemilihan tahun ini demi kepentingan nasional, kenapa tidak mengatakannya secara langsung dan terbuka lalu ditujukan kepada MK, intelijen, aparat pengaman negara, KPU, dan KPK?
Cawe-cawe yang disebutkan Jokowi dapat mengancam demokrasi saat ini. Menurut CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, menyebut bahwa hal ini berpotensi merusak integritas lembaga negara, menciptakan kesan bahwa keputusan politik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau partisan.
Kemudian, dampak negatif lainnya ialah potensi kekuasaan berlebihan. Dalam hal ini, cawe-cawe Jokowi dinilai bisa menimbulkan kekhawatiran tentang akumulasi kekuasaan yang berlebihan.
Selanjutnya Pemerintah akan kehilangan kepercayaan publik. Sebab, Jokowi disebut bisa merusak kepercayaan publik (distrust) terhadap proses pemilihan dan integritas lembaga-lembaga terkait.
Terakhir, adanya pembatasan inovasi politik. Dengan campur tangan presiden dalam menentukan penerusnya, ada risiko terjadinya stagnasi politik. Hal ini menyebabkan calon-calon presiden yang memiliki visi baru, gagasan inovatif, atau perspektif yang berbeda, berpotensi untuk terhalang oleh pengaruh presiden saat ini.
Namun sebagai seorang Cendekiawan Muslim sudah tugas kami untuk husnudzan dan percaya kepada Ulil Amri—dalam hal ini Presiden Jokowi. Sekarang saatnya tinggal menunggu janji dan bukti bahwa yang beliau maksud “cawe-cawe” ini adalah untuk kepentingan Negeri bukan Pribadi apalagi Party (Partai Politik) meskipun beliau adalah petugas partai politik. (*)