Oleh: Rizali Rusydan
Terjebak ke dalam romantisme masa lalu adalah hal yang menyebalkan. Namun kita tidak bisa menyangkal kalau itu menjadi sesuatu yang mengasyikkan terkadang. Mengingat ulang, mengais ingatan-ingatan lama yang ada di kepala tentang: kejayaan, suka cita, membuat kita lupa akan waktu sebab khusyuk menyusuri ruang dan ingatan masa lalu.
Ibuku pernah bilang, “Wajar sekali-sekali rindu dan menoleh ke masa lalu. Tapi bukan untuk kau telurusuri kembali. Hidup terus bergerak. Kalau kau rindu, kenang masa lalumu lalu kembali berjalan maju.” Kalimat ini selalu dia ucapkan tiap kali melihatku duduk dengan tatapan kosong di ruang tamu seakan-akan dia bisa membaca isi pikiranku.
Beberapa kenangan memang harus dilupakan. Bisa juga diganti, ditimpa dengan kenangan yang baru. Namun untuk kenangan, ingatan, prinsip, yang selalu lekat di kepala dan dijadikan pedoman, bukanlah sesuatu yang dapat dilupakan. Termasuk salah satunya: idealisme masa muda.
Idealisme bukanlah kebenaran. Bukan pula hal yang mutlak. Sewaktu-waktu ia akan berubah mengikuti ambisi dan tujuan. Tapi percayalah, ini yang membedakan kita sebagai manusia. Setiap dari kita pastinya memegang nilai yang berbeda—yang sama benarnya—sehingga hal tersebut layak untuk diperjuangkan. Namun tidak dengan menjadi mahasiswa. Kita memegang nilai yang sama: berjuang atas nama rakyat!
Universitas sebagai penyelenggara pendidikan memegang teguh prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi dan harus patuh dan taat kepada hal tersebut. Lalu mahasiswa yang tergabung di dalamnya juga mesti menjalankan apa yang sudah tertuang di dalam Tri Dharma. Tidak hanya sampai di situ, Mahasiswa dalam prosesnya juga mengemban amanah sebagai agent of change, social control, penyambung lidah rakyat, dan masih banyak lainnya.
Maka dari itu banyak dari kita yang memilih untuk bergabung ke dalam organisasi-organisasi mahasiswa. Selain untuk mengasah soft skill, menambah relasi, dan mendapatkan prestasi, tak banyak juga yang berharap untuk dapat mengimplementasikan amanah sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya.
Saya sendiri bergabung dalam organsisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Sebagai warga persyarikatan Muhammadiyah sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab moril bagi saya untuk mengembangkan wadah yang sudah disediakan oleh Muhammadiyah.
Tak terasa, tiga tahun berada di sana, saya mendapat banyak hal yang saya butuhkan. Meskipun hanya sampai di tingkat komisariat, saya bersyukur pernah menjadi bagian dari ikatan yang penuh cinta. Namun pada tingkat selanjutnya, saya memang enggan bergabung. Selain saran dan nasehat dari Ibu yang memang meminta saya menyudahi segala kegiatan aktivisme di IMM, selain itu saya pesimis dan skeptis untuk mencurahkan tenaga dan waktu saya, baik: di cabang, daerah, maupun pimpinan pusat, dikarenakan idealisme dan nilai yang dipegang pastilah jauh berbeda dengan yang ada di komisariat. Untuk apa hanya sekedar menitipkan nama tapi minim manfaat?
Saya sadar dan paham, “With a great power comes great responsibility”. Wajar jika berbeda nilai dan perjuangannya. Namun sekali lagi, ini soal nilai dan prinsip yang saya pegang sedari dulu. Saya tidak ingin eksistensi, syahwat pribadi, jauh melampaui kepentingan dan eksistensi organisasi itu sendiri. Saya jengah terhadap Pimpinan yang syahwat pribadinya jauh lebih besar ketimbang syahwat organisasi. Lebih-lebih, apa yang saya gusarkan, pada akhirnya kejadian.
Menjelang Pemilihan Umum serentak yang sebentar lagi akan diselenggarakan, semua orang dari lapisan apapun menjadi semakin banal. Ini hal yang wajar. Mengingat Pemilu adalah pestanya rakyat. Setiap orang berhak merayakannya. Namun, bagi mereka yang sudah diamanahi tanggungjawab di pundaknya, tidak kalah banal malah arogan dan vulgar.
Dari #NarasiMenujuAksi adalah jargon yang selalu diutarakan, disematkan, oleh Pimpinan Pusat IMM. Sederhana namun sarat makna. Di awal, saya menyambut hal ini dengan suka cita. Namun kini aktualisasinya melecehkan maknanya. Dalam salah satu interview beliau menyampaikan bahwa, “Sebagai anak muda yang konsen pada gerakan intelektual, nah hari ini kita mencoba untuk menunjuk salah satu calon yang nantinya akan kita harapkan untuk mengawal yang selama ini kita konsep sebagai narasi kebangsaan. Itu yang kita ingin. Makanya kita undang semua elemen anak muda Muhammadiyah hadir medeklarasikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan dalam hal ini dialamatkan kepada 02: Prabowo Subianto dan Mas Gibran.”
Saya yakin dan percaya Ketua Pimpinan Pusat pasti jauh lebih berpengalaman, berilmu. Sebagai gerakan intelektual, seharusnya kita fokus mengawal jalannya demokrasi menuju pesta demokrasi ketimbang memilih untuk menggalakkan dan menggalang suara kepada salah satu calon tertentu. Kita tidak ingin terjadi adanya bias dalam pandangan, tumpang tindih dalam kepentingan, apalagi hanya sekedar mencari momentum, dan bismillah insha Allah komisaris.
Terlepas dari pada bahwa itu adalah preferensi pribadi tanpa membawa posisi atau jabatan di almamater saat ini, tapi kita bukan manusia yang buta. Lupa, bahwa beliau yang berbicara saat itu masih mengemban amanah sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Terlebih-lebih sebagai Ketua Umum, marwah dan harga diri almamater tentunya melekat jauh lebih erat di diri beliau. Sebab beliau adalah representatif dari kita semua yang hari ini: sudah atau sedang berjuang atas nama ikatan.
Mas Musawir pastinya pernah membaca tulisan-tulisan Noah Chomsky perihal pandangannya terhadap kaum intelektual. Pastinya juga sudah membaca karya Antonio Gramsci perihal intelektual organik. Namun mengapa, aktualisasi dari Narasi Menuju Aksi yang selama ini digaung-gaungkan realisasinya jauh berbeda. Khilaf? Pasti tidak. Ini murni memang sudah diniatkan. Manusia memang tempatnya salah, tapi bukan berarti bisa berlaku semaunya lalu di akhir meminta maaf. Kata maaf tidak sebercanda itu, bung!
Ungkapan “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”, memang nyata benar adanya. Dia yang tidak bisa mengontrol dirinya, niscaya akan gagal mengontrol dunia.
Sebagai organisasi otonom yang bernaung di bawah Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah, seyogyanya IMM harus mengikuti perjuangan dan nilai yang diperjuangkan Muhammadiyah. Bahkan hal tersebut sudah tertulis di dalam enam poin penegasan IMM. Jadi lupakan saja keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik jika diri ini tidak mampu mengontrol hawa nafsu sendiri.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, bahkan sampai mengeluarkan pernyataan, “Jaga marwah Muhammadiyah. Jangan jadikan gedung, atribut, dan fasilitas milik persyarikatan menjadi arena kegiatan politik partisan dan gerakan politik kepentingan yang tidak sejalan dengan karakter Muhammadiyah. Segenap anggota kader, lebih-lebih pimpinan di seluruh organ persyarikatan mesti konsisten memedomani Kepribadian, Khittah, dan ketentuan organisasi. Tidak bertindak sendiri dengan menyalahgunakan dan merugikan organisasi.”
Sebab itu, saya justru jauh lebih percaya kepada orang yang sudah mati. Saya yakin dan percaya, hanya ada dua orang manusia baik di dunia ini. Yang pertama adalah mereka yang belum dilahirkan. Yang kedua adalah mereka yang telah mati.
Maka dari itu, beberapa kali saya kerap membongkar kembali tumpukan usang buku-buku yang membahas soal orang-orang yang memperjuangkan kebenaran di negeri ini. Tidak ingin terlarut dalam buaian nostalgia, namun mereka yang sudah tiada di bumi hari ini, justru memberikan pelajaran yang tak kalah jauh lebih berarti dari mereka yang masih hidup hingga hari ini. Salah satunya Soe Hok Gie.
Tak terhitung sudah berapa banyak kegetiran yang ia alami. Tak terhitung pula berapa banyak aksinya yang kerap ditunggangi, diklaim ke sana kemari. Di saat teman-temannya ikut mengambil posisi dalam sistem yang korup, ia tetap tegak berdiri di kakinya sendiri. Meskipun semua itu harus dibayar oleh kisah cintanya yang tak semulus gagasannya dan harus dibayar dengan kematiannya yang sepi.
Maka dari itu aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Allah karena sudah menciptakan manusia seberani dan teguh pendirian seperti Gie. Sebab tidak ada lagi aktivis yang bisa dipercaya selain ia yang sudah mati seperti Gie. (*)
Penulis adalah Kader IMM FISIP UMSU