Kasus lain dapat diandaikan bahwa seorang kader persyarikatan meski kini menjabat sebagai anggota legislatif merangkap ketua partai, oleh sesuatu dan lain hal dapat saja tak berhasil beroleh nomor urut 1 dalam pencalegan dari dapilnya yang lama. Semua tahu bahwa proses pencalegan adalah salah satu agenda konflik tetap partai politik di Indonesia selain pencalonan ke kursi eksekutif dan permusyawaratan untuk menentukan pengurus.
Apakah mustahil seorang kader persyarikatan yang kini menjabat sebagai legislator menyatakan pindah partai ketika merasa dirinya tak diperlakukan adil dalam pencalegan (misalnya bukan sebagai nomor 1 atau dipildahkan ke dapil lain yang di sana ia tidak cukup familiar)?
Dalam diskusi beberapa waktu lalu dengan Ketua KPU Sumatera Utara antara lain ia berdalih, masa pendaftaran masih belum selesai. Tiba saatnya nanti Daftar Calon Sementara berubah menjadi Daftar Calon Tetap yang pada saat itu dapat diakses oleh semua pihak. Terkesan kuat adanya perasaan bersalah pada KPU jika menyebar data sementara ke lain pihak.
Ketiga, kemungkinan perubahan besar-besaran dari Daftar Calon Sementara ke Daftar Calon Tetap akan terjadi jika perubahan mekanisme pemilihan model proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Dengan kesulitan seperti yang digambarkan di atas itu, maka hampir dapat dipastikan bahwa saat ini cukup berisiko untuk menargetkan pembuatan daftar yang selanjutnya kelak dapat dipergunakan untuk rencana kerja teknis mobilisasi dukungan persyarikatan untuk kader yang maju pileg itu.
Meski pun demikian, Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara telah menganjurkan agar segera dilayangkan surat permintaan data (seberapa realistis pun itu dalam penilaian) kepada seluruh Pimpinan Daerah. Syukur PD Muhammadiyah yang sebagian besar tak memiliki organ kelengkapan LHKP dapat bersukaria merespon. Setidaknya surat permintaan yang ditujukan kepada PD Muhammadiyah itu dapat dimaknai sebagai aba-aba yang dapat diterjemahkan sebagai “warming up politik” bagi seluruh jajaran persyarikatan.
Sesungguhnya ada kesempatan berijtihad lewat keringat keterlibatan unik dalam perhelatan politik ini dengan menggeser masalah agak ke hulu. Misalnya pergilah Muhammadiyah ke semua organisasi untuk menawarkan kesepakatan bahwa jika kita bersatu dengan risiko dibenci oleh para penggantang kekuasaan di jalur lain dan kemungkinan besar para oligark, tak hanya jumlah legislatif yang bersal dari persyarikatan yang dapat diperoleh dalam jumlah yang lebih proporsional. Tetapi juga Capres terbaik dengan tanpa harus menuntut sesuatu yang saat ini tak mungkin, yakni pencalonan presiden dari jalur perseorangan.
Semua orang mungkin sadar tantangan kurltural dan politik yang menidakmungkinkan terjadinyaa ijtihad itu. Padahal hasilnya bisa diteruskan ke arena pilkada gubernur, Bupati dan Walikota.
Ijtihad itu tentu terasa menentang sesuatu yang diaanggap sebagai nilai final bahwa urusan pembentukan kekuasaan melalui pemilu hanyalah domain tunggal partai politik sebagaimana mereka telah amankan hak-hak amat sangat istimewa itu dengan regulasi yang tak begitu sukar ditemukan penentangannya atas konstitusi dan nilai demokrasi luhur.
Di manakah pangkal semua masalah ini? Rasanya ada pada tradisi di rumah pertama kelahiran demokrasi bahwa politik adalah urusan sekuler yang di sini, di Timur, di negeri tempat KHA Dahlan menyemai amal salih, diikuti dengan penuh sukacita. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut