Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Memberi perhatian lebih serius terhadap politik elektoral memang bisa berisiko bagi Muhammadiyah jika tidak ditakar sedemikian rupa. Mengapa?
Selama ini Muhammadiyah cukup terkesan enggan bersikap terbuka, meski sebetulnya orang luar banyak tahu atas kebersikapan tertentu Muhammadiyah.
Banyak warganya yang menjadi politisi dan itu tersebar di semua partai peserta pemilu meski dengan distribusi yang tak merata.
Mereka, sebagai politisi, sejauh ini, mungkin tak pernah berbuat hal yang amat fatal dan yang merugikan kepada diri mereka, partai mereka, apalagi terhadap Muhammadiyah, demi kepentingan politik kepartisanan mereka itu.
Begitu pun selalu ada dampak. Dalam didikan dan tuntunan moral Muhammadiyah mereka terlihat sama dan dengan profil yang tak jauh berbeda sekaitan dengan hasil kaderisasi yang mereka alami selama menjadi anggota persyarikatan.
Ada pemikiran baru yang semakin menguat terutama menjelang Muktamar terakhir. Tanpa bergeser sedikit pun dari khittah dalam politik yang sudah digariskan, ada hasrat untuk mengintervensi halus proses politik elektoral ini. Ini memang urusan politik yang agak hilir.
Membiarkan warga dengan pilihan politik masing-masing dan seolah tiada tahu bahwa mereka ada dalam meja perebutan para kader untuk mendulang suara, itu baik-baik saja dan sekaligus memiliki sisi kekurangan juga.
Lantas bagaimana intervensi tak berdampak buruk dan apalagi terkesan tak adil, dan terlebih, kesulitan paling seriusnya adalah, menakar intervensi itu. Taklah elok sekiranya ada yang goes too far hingga seolah ada peran kebrokeran. Secantik-cantik memainkan peran dalam perebutan kekuasaan pasti ada yang akhirnya merasa tak dipihaki sembari dirugikan. Itulah masalahnya.
Identifikasi kecenderungan pastilah akhirnya membangun gambar besar yang menunjukkan sikap kepemihakan politik Muhammadiyah yang tak didefinisikan dengan kata-kata, melainkan perbuatan agregatif.
Risiko itulah yang sedang menanti Muhammadiyah pada pemilu 2024. Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) sejak beberapa bulan lalu telah intensif membicarakan agar proses politik yang akan menghasilkan rezim pemerintahan ini (pemilu 2024) kelak dapat amat, kalau bukan lebih, ramah kepada umat, Muhammadiyah dan bangsa secara totalitas. Tentu obsesi serupa dimiliki oleh semua kelompok di Indonesia, dan bahkan di luar negeri. Begitu kan?