Oleh: Nirwansyah Putra
Belanda menyelidiki dan mengawasi ketat pelaksanaan haji. Penjajah Eropa ini kemudian menugaskan seorang terpelajar: Christiaan Snouck Hurgronje.
Saat berkuasa, penjajah Belanda cemas tentang potensi manifes politik Islam. Mereka mengusung kecemasan ini ke Makkah; suatu tempat yang dulunya mereka bayangkan hanya sebagai tempat suci umat Islam, bermukimnya ulama, dan untuk menjalankan ritual agama bagi mayoritas penduduk daerah jajahannya, Hindia Belanda.
Belanda mulai membayangkan Makkah dan Madinah sebagai wilayah eksisnya ide-ide dan propaganda politik Arab, meski waktu itu masih menjadi bagian otonom dari teritorial Dinasti Utsmaniyah, Turki. Ada bayangan kekhalifahan, pan-Islamisme, dan kemudian kecurigaan tumbuhnya sikap anti-kolonial. Ini bukan cemas tanpa dasar.
Bagi seorang yang pergi, melebur di Makkah dan Madinah, dan kemudian pulang ke tanah air, maka perjalanan haji waktu itu bukanlah seperti sekarang. Perjalanan haji waktu itu berbulan-bulan, bahkan kalau kemudian dikompilasi dengan waktu tinggal untuk berdagang atau belajar, untuk sebagian orang akan menjadi bertahun-tahun. Itu perjalanan yang melewati begitu banyak wilayah, komunitas, orang-orang, dan tentu saja wacana yang beraneka tetapi bisa juga seragam misalnya soal kolonialisme. Asia-Afrika adalah dua kawasan yang menjadi wilayah perjalanan, sekaligus wilayah jajahan Eropa pada waktu itu.
Bagi seorang jamaah haji abad ke-19 dan sebelumnya, maka dia telah bergerak dari wilayah etnisitas dan lokal seperti Aceh, Melayu, Mandailing, Minangkabau, Sunda, Jawa, dan lain sebagainya (termasuk dari wilayah dan bangsa lain), menuju sebuah wilayah baru, berproses, dan kemudian memasuki suatu “identitas” yang baru yaitu komunitas Islam sebagai sebuah keseluruhan berikut imajinasinya tentang komunitas itu. Oleh beberapa pendapat, haji dapat dipandang sebagai sebuah ritual peralihan, -meminjam konsepsi antropologi Arnold van Gennep dan Victor Turner— suatu rites of passage, tetapi dengan cakupan yang lebih luas dan lama.
Namun, selain tentang ritual, Belanda belum mengetahui banyak soal haji, waktu itu. Pada 1860, Salomo Keyzer (1823–68), seorang pengajar tentang Jawa dan Hukum Islam di Royal Academy Delft, Belanda, sudah menyarankan agar Belanda memerbaiki senjang pengetahuannya tentang haji dan Makkah. Salomo menggambarkan Makkah sebagai “tempat buaian plot internasional bagi umat Islam untuk bangkit melawan majikan kolonial mereka”, demikian dikutip di dalam buku Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: the Umma Below the Winds (2003). Apalagi, dibukanya Terusan Suez pada 1869 kian menambah jumlah jamaah ke Makkah. Gambaran Keyzer itu tidak serta-merta disetujui, tetapi haji dan Makkah sudah menjadi perhatian besar.
Belanda lalu menyelidiki dan mengawasi ketat pelaksanaan haji di abad ke-19. Penjajah Eropa ini kemudian menugaskan seorang terpelajar: Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936).
Hurgronje yang fasih berbahasa Melayu, Jawa, dan Arab itu, diangkat menjadi penasehat Urusan Pribumi dan Arab Hindia Belanda. Dia ditulis sudah masuk ke Jeddah pada Agusus 1884 dan bermukim di Hijaz selama 1884-1885. Hurgronje berhasil masuk ke wilayah Makkah dengan merubah identitasnya sebagai seorang muslim dan menyusup ke komunitas muslim Makkah waktu itu. Lepas dari jazirah Arab, Hurgronje lalu tinggal di jajahan Belanda, Indonesia, kurun 1889-1906.
Saran Hurgronje: asosiasi. Hal itu akan menguntungkan Belanda dan dapat menetralisir, kalau tidak bisa memadamkan, sentimen anti-kolonial dari kalangan pribumi. Represi hanya memunculkan resistensi yang tak habis walaupun hal itu tidak muncul di permukaan. Persoalan Belanda dan pribumi adalah hubungan antara penjajah dan yang dijajah. Kesenjangan rasa ini menyemai identitas (yang sebelumnya juga sudah kental) dan itu pula yang nantinya memerkukuh rasa bangsa yang berbeda, ‘other’ dan ‘the Other’. ‘Politik etis’ dan kemudian ’emansipasi’ disebut-sebut berkoneksi dengan ‘asosiasi’ ala Hurgronje. Pertanyaannya: emansipasi terhadap apa?
Asosiasi dan emansipasi memang terlihat manis dan humanis. Tentu saja versi mata Belanda dan yang mendukung versi itu. Lagipula, itu memang akan menguntungkan Belanda juga. Daerah jajahan yang maju dan kaya serta masyarakat yang mudah diatur, jelas berpotensi menambah pundi-pundi dan stabilitas kerajaan Belanda, para bangsawan, dan tentu saja antek-anteknya. Seorang majikan akan lebih baik menyekolahkan ‘budaknya’ untuk berubah posisi menjadi ‘pekerjanya’ yang pintar, gesit, menghasilkan banyak uang, dan mengabdi dengan rasa terimakasihnya yang begitu dalam, daripada memupuk terus kebencian dari budaknya itu. Bosnya tetap mesti Belanda, bukan?
Namun, dinamika politik Dinasti Utsmaniyah Turki, perebutan kekuasaan di Makkah (Hijaz), geliat intelektual di Kairo, serta etalase sosial politik jalur sepanjang Asia Barat (India, Pakistan, Afghanistan, dan lain sebagainya), telah menjadi sumbu-sumbu yang membuat bayangan kecemasan Belanda itu justru menjadi kenyataan politik. Konteks peta tatanan dunia internasional, etalasi konflik dan perang dunia, juga berubah cepat. Sentimen anti-kolonial, kesadaran identitas diri (lokal, nasional dan kemudian transnasional), justru memunculkan ide yang jauh lebih gawat bagi Belanda yaitu kemerdekaan. Ide itu lantas menjadi kenyataan.
Namun, meski sudah merdeka, politik Islam -baik ide dan gerakan- toh, tidak lantas padam seperti bayangan Belanda ataupun Hurgronje. Sebaliknya, dia justru terus hidup: dulu-dulu sebelum Belanda, dijajah Belanda, dijajah Jepang, pra dan pascaproklamasi, di lembaga konstituante pascapemilu 1955, sewaktu amandemen UUD 1945 pascareformasi, dan entah sampai kapan. Belanda sudah pernah mencoba memadamkan itu dan gagal.
Dus, ada baiknya jangan melihat politik Islam dengan topi miring, karena bisa-bisa Anda bakal mengidap penyakit kecemasan yang berketerusan. Lebih baik jangan. Nanti bisa ‘stroke’ seperti Belanda. (*)
Sumber: indie.com