Oleh: M. Rizqy Farhan
Ramai kita lihat beberapa anggota Dewan bahkan Calon Presiden melaksanakan ibadah haji. Selain karena bertepatan dengan waktunya, ini bisa jadi sebuah usaha untuk menarik atensi publik menjelang kontestasi. Kita memang harus selalu berprasangka baik, namun tidak ada gunanya bila itu soal politik. Apalagi perpolitikan negeri ini. Saya rasa berprasangka buruk itu jauh lebih tepat untuk situasi politik saat ini.
Haji politik memang sudah jadi fenomena musiman. Hal ini lazim dilakukan bagi mereka calon anggota dewan yang memiliki hajat atau bagi mereka anggota dewan yang sudah menjabat. Bagi mereka yang masih (calon) anggota dewan hal ini perlu dilakukan guna menarik atensi dan meningkatkan elektabilitas. Sementara bagi mereka yang (sudah) menjadi anggota dewan, ini berguna untuk menjaga elektabilitas guna bekal di pemilihan berikutnya. Kejam, bukan? Ibadah pun bisa dijadikan media propaganda.
Di negara berkembang seperti Indonesia—di mana hidup kurang lebih 280 juta rakyat di dalamnya—yang 75% mayoritas didominasi oleh Muslim, maka memiliki citra yang baik dengan cara melaksanakan ibadah haji menjadi sangat penting. Bagaimana tidak, muslim di Indonesia itu mayoritas dan otomatis akan banyak suara dari mereka!
Kita yang notabene adalah rakyat yang juga pemilih, malah ikut tertipu dengan imaji palsu yang mereka ciptakan. Bagaimana tidak, bagi kita terlihat baik jauh lebih penting ketimbang menjadi baik itu sendiri. Sudah menjadi hal alamiah dan naluriah jika kita akan memvonis segala sesuatu awalnya melalui penampilan. Hanya mereka yang sudah tercerahkan dan teredukasi lah yang tidak akan melakukan hal tersebut.
Maka dari itu dirasa perlu atau memang sangat perlu untuk pergi haji bagi calon anggota dewan dan calon presiden apalagi menjelang tahun-tahun politik. Selain untuk meminta restu kepada Sang Illahi, hal ini juga dapat membantu mereka menciptakan imaji bahwa mereka adalah seseorang yang bertakwa.
Ditambah keadaan politik negara kita yang memang tidak stabil sebab mudah diguncang melalui isu sara, maka sangatlah mudah memframing dan mempriming sosok calon pemimpin sebagai sosok yang religius sehingga banyak rakyat yang akan percaya lalu kemudian memilihnya. Semua itu disebabkan karena tingkat kesadaran dan pemahaman politik di negeri kita yang masih cukup rendah.
Kebanyakan rakyat Indonesia memilih seorang calon pemimpin bukan karena visi-misi, program kerja, ataupun kinerjanya, tapi karena latar belakang agama dan kesalihannya. Calon pemimpin yang memang licik dan cerdik pun memanfaatkan momentum ini lalu voila politik identitas tercipta, strategi pecah belahnya pun terjalankan. Mau sampai kapan perihal isu suku, ras, terutama agama menjadi komoditas utama yang akan selalu dibahas menjelang pemilihan?
Kita mungkin tidak setuju dengan konsepsi pemikiran Machiavelli dan para Machiavellian perihal cara meraih kekuasaan. Sebab kita dituntut untuk menjadi taktis, pragmatis, juga licik. Namun belakangan, justru cara inilah yang dinilai paling realistis dan paling praktis. Tidak ada sopan santun dalam hal politik, tidak ada benar-salah dalam hal politik, selagi itu berguna dan bermanfaat untuk meraih kursi kekuasaan, maka halalkan lah berbagai macam cara.
Di tengah-tengah tahun politik, di zaman yang dibanjiri oleh segala macam informasi, perlu rasanya menjadi orang yang sinis juga kritis. Tak masalah jika kesannya terlihat seperti orang yang rewel, suka ngedumel, dan tidak tau berterima kasih. Melihat keadaan dan kondisi kita saat ini, memang perlu rasanya untuk bersikap sinis dan kritis. Semua itu demi menjaga kejernihan isi pikiran dan hati sebab belakangan semua hal bisa difabrikasi dan itu rasanya dangkal sekali. (*)
Penulis adalah Ketua Bidang Hikmah PK IMM FISIP UMSU