TAJDID.ID~Medan || Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara, Shohibul Anshor Siregar menuturkan, bahwa ia pernah mendengar penjelasan Kevin W Fogg, sejarawan dari Amerika, yang menyatakan bahwa banyak sekali data sejarah Islam Indonesia yang dihilangkan.
“Ya, saya tercenung mengikuti penjelasan teman saya Kevin W Fogg, sejarawan dari Amerika, yang menyatakan bahwa banyak sekali data sejarah Islam Indonesia yang dihilangkan,” ujar Shohib kepada TAJDID.ID, Selasa (19/4).
“Padahal tidak ada revolusi nasional Indonesia melainkan revolusi yang digerakkan dan mengandalkan kekuatan umat Islam,” imbuhnya.
Dosen FISIP UMSU ini mengungkapkan, organisasi jihadis pendiri Indonesia seperti Muhammadiyah (1912), NU (1926) dan lain-lain, dengan ikhlas berjuang mengusir penjajah dan mendirikan Indonesia. Kemudian mereka dengan rela minyerahkan negara dan pemerintahannya menjadi urusan publik.
“Setelah sekian tahun merdeka dengan sistem pemerintahan yang tunduk pada tarik-menarik kepentingan global, dan bahkan cita-cita kemerdekaan justru makin jauh dari capaian,” sebutnya.
Menurut Shohib, salah satu masalah terbesarnya ialah nihilitas representasi rakyat secara penuh di dalam perwakilan dan atau pemerintahan.
“Ini tak sama dengan suara sumbang Menteri Agama yang mengatakan bahwa Kementerian Agama adalah hadiah khusus bagi NU, bukan umat Islam. Meski Muhammadiyah tak mau mengatakan TNI adalah jasa besar Muhammadiyah lewat kadernya Soedirman dan oleh karena itu Panglima TNI dan seluruh Kodam seyogyanya diserahkan menjadi hak bagi kader Muhammadiyah,” tegasnya.
“Nihilitas itu bergeser drastis sesuai era pemerintahan. Jika diingat masa pemilu pertama (1955) bahkan calon perseorangan pun diakui dalam pemilu (DPR) dan pemilu Konstituante,”imbuhnya.
Baca juga:
- Urgensi Merombak Legalframework Demokrasi dan Politik Indonesia
- Shohib Soroti Sistem Perwakilan yang Sentralistik dan Oligarkis
- Soal Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Shohib: Silahkan Saja Asal Melalui Referendum untuk Minta Persetujuan Rakyat
Kini, lanjut Shohib, setelah beberapa dasawarsa sistem politik dan demokrasi dterapkan ternyata justru menjauhkan Indonesia dari cita-citanya (yakni menghapuskan segala bentuk penjajahan, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut dalam upaya ketertiban dunia), sudah tiba saatnya merombak sistem perwakilan Indonesia.
“Atas dasar jasa sebagai organisasi jihadis pendiri negara, Muhammadiyah dan NU serta yang lain, ditambah utusan daerah dan golongan serta utusan organisasi berintegritas baik profesi mau pun yang lain, harus diberi tempat tanpa melalui pemilu. Awalnya jumlah perwakilan itu ditambah 3 kali lipat untuk mengisi kursi di pusat sampai ke daerah,” kata Shohib.
Shohib menjelaskan, secara pragmatis Muhammadiyah dan NU, misalnya, akan dapat beroleh pemasukan keuangan untuk membiayai amal usaha mereka yang di lapangan kerap mengalter kualitas sistem layanan pemerintah melalui zakat (misalnya 2,5 persen) dari transfer yang dipetik setiap gajian seluruh anggota legislatif itu. Menurutnya itu sangat halal.
“Jangan salah faham atas gagasan ini, misalnya akan menduh agenda khilafah dan sebagainya. Demokrasi itu represansi rakyat. Jika rakyat tak terepresentasikan dalam demokrasi, itu pastilah sistem anti demokrasi meski secara formal dinamai demokrasi,” sebut Shohib.
“Satu lagi, demokrasi tak pernah mengingkari sejarah. Karena pengingkaran atas sejarah adalah perlawanan membunuh demokrasi yang tak boleh dimaafkan sepanjang belum kiamat,” tutup Shohib. (*)
Baca juga: