Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Partai-partai yang lahir dengan gelagat yang dekat dengan komunitas Islam belakangan ini bermunculan. Apa harapan mereka?
Mungkin mereka pun menyadari bahwa kemunculan partai-partai itu justru di tengah kesulitan yang ditandai dengan fenomena global dan nasional berikut:
- Meningkat tajamnya Islamofobia bahkan di negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia;
- Pemahaman, iktikad dan pencarian strategi revitalisasi ukhuwah yang makin rumit dan bahkan melahirkan mentalitas yang mudah terjebak dalam iklim saling tuding dan saling merdendahkan.
- Fakta Islam politik yang semakin tergusur di grassroot tetapi mungkin mengalami penguatan di tingkat elit;
- Elit pengusung gagasan-gagasan pendirian partai baru ini adalah eks elit yang sudah babak belur dari kecentang prenangan jejak karya sebelumnya.
Saya tak tahu PKB dan PPP. Tetapi Gelora sudah muncul dari PKS. Partai Ummat sudah muncul dari PAN. Masyumi Reborn yang kemarin hilang dan berusaha mengkonsolidasi diri pada wahana baru.
Apakah ini sebentuk “pelarian” dari semua kegagalan-kegagalan itu? Harap dicatat, demokratisasi gelombang ketiga di Indonesia justru ditandai dengan kegairahan dalam transaksi dan demokrasinya mengarah ke oligarki yang mengembalikan tradisi yang dicaci lama baik dalam masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Partai memang semakin buruk secara umum, namun grass root tidak akan tertarik dengan perdebatan ideologis, dan karena hanya ini yang dimiliki oleh partai-partai baru, tentu saja mereka akan potensil mencatatkan kegagalan ke depan berhubung mereka tidak akan memiliki kemampuan bersaing untuk mempertaruhkan modal sebagai andalan mempertahanlkan eksistensi dan kemenangan pemilu.
Karena itu saya menghimbau Muhammadiyah, NU dan organisasi-organisasi jihadis yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia agar melakukan Gerakan mendesak kekuatan politik Indonesia untuk merombak legalframework demokrasi dan politik.
Pertama, legalframework itu harus merujuk kembali secara utuh kepada pembukaan UUD 1945, agar kemurnian berbangsa dan bernegara disadari Kembali. Banyak hal yang perlu dibenahi, termasuk makro ekonomi yang tak semestinya membiarkan dengan tega kesenjangan sosial yang amat rawan.
Kedua, biarkan partai politik beradu kuat memperebutkan kursi dengan cara kecurangan dan modal. Namun jumlah kursi di semua level legislatif diperbanyak untuk menampung separuh dari total jumlah anggota legialatif dari organisasi jihadis pendiri negara dengan tanpa pemilu. Ini akan menyehatkan demokrasi melebihi praktik sekarang.
Legislator yang takut direcall biarkan saja, namun legislator dari organisasi jihadis akan dikontrol oleh pimpinannya yang berada di luar ranah politik agar tetap memenuhi tugas normatifnya (pengawasan, anggaran dan legislasi). Kondisi seperti itu akan mempersulit terjadinya tragedi legislasi yang beroleh penolakan luas dari rakyat namun tetap disahkan sebagaimana dalam kasus omnibuslaw.
Demokratisasi dan politik ini semakin parah, organisasi jihadis pendiri negara harus merasa tersinggung berat.
Aspirasi politik organisasi jihadis pendiri negara itu tidak mungkin ditundukkan pada salah satu partai politik yang ada. Pada dasarnya partai politik itu tidak berkeringat dan tidak berdarah. Meskipun pada masa damai dan tenang mereka menjadi raja-raja pengendali oligarki yang memusuhi rakyat. (*)
Penulis adalah: Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut.