Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Baru-baru ini ada usaha untuk menabalkan nama jalan yang dambil dari tokoh Turki di Jakarta. Tetapi ini bukan urusan dan usul Gubernur DKI, Anies Baswedan. Melainkan urusan diplomasi antar negara.
Untuk apa? Apakah hal ini terkait dengan soal-soal yang bertalian dengan pemaknaan yang tak mudah dijelaskan di dalam politik tersamar yang sedang berlangsung di Indonesia dalam pembelahannya yang serius terutama setelah 5 tahun lebih terakhir.
Memang tampaknya cukup sederhana gagasan itu. Di Turki, sebagai perbandingan, nama Sukarno konon sangat dihargai, yang antara lain dapat dilihat dari pemberian nama Jalan Soekarno.
Jika pernghargaan serupa akan dilakukan dengan cara yang setara, maka Jalan apa yang akan diberikan di Indonesia?
Ada yang mengusulkan nama Kemal Attaturk. Tetapi banyak yang protes dengan alasan yang masuk akal. Kemal Attaturk memang penuh kontroversi di tengah umat Islam dunia, sama dengan Soekarno di tengah umat Islam Indonesia.
Hal seperti itu sangat lazim. Aspek tertentu dari seorang tokoh dapat lebih ditonjolkan dan diapresiasi secara subjektif di negara tertentu, meski citra subjektif serupa dapat berbeda di dalam negeri.
Bagaimana menyikapi hal ini? Jika kontroversi terus berlangsung, itu tak elok untuk Indonesia mau pun Turki. Bagimana jika Jalan Ottoman saja? Itu pasti lebih disukai oleh kalangan umat Islam tertentu yang secara diametral bertentangan dengan pengusul nama Kemal Attaturk.
Sebab di balik kontroversi ini gagasan awal bukanlah Turki secara utuh yang mungkin begitu menarik dalam pandangan dan niat pengusul, melainkan tokoh Kemal Attaturk.
Tentu mereka akan siap dengan data dan keterangan yang mendukung, sebanyak data dan informasi penolakan yang akan mereka hadapi dari kalangan yang menolak.
Barangkali mungkin lebih baik mencari cara untuk membuat lebih signifikan kerjasama kedua negara dalam berbagai bidang.
Misalnya, penelitian sejarah, pendidikan, teknologi, budaya, pemberantasan kemiskinan dan kerjasama ekonomi yang lebih luas.
Tentu kedua negara akan memerlukan kehati-hatian di tengah Islamofobia membahana secara global.
Di hadapan dunia global tentu saja orang bisa melihat Turki jauh lebih terkedepan, tak hanya dalam diplomasi tetapi juga dalam bidang yang lebih luas termasuk konstelasi keamanan dalam persepsi yang saling bertentangan satu sama lain terutama pasca perang dingin.
Tidak akan mungkin didapat informasi secuil dari Presiden Erdogan dan Presiden Joko Widodo mengenai hal ini. Sebab penggodogannya mungkin hanya ada pada diplomasi tingkat Duta Besar dan dengan segala perhitungan aspek international security, para Menteri Luar Negeri kedua negara hanya akan bersikap seperti acuh tak acuh untuk taktik cari aman sesuai perkembangan dan atau kontroversi.
Artiya jika hal ini dipersepsikan sebagai bentuk ancaman oleh kekuatan dominan dunia, kedua Duta Besar bisa buang badan secara aman.
Sesungguhnya, ada kondisi yang berbeda di kedua negara dalam kaitan pemahaman atas Islam sebagai agama bersama. Presiden Erdogan mungkin tidak begitu gembira dengan apa yang diketahuinya mengenai Indonesia saat ini, meski secara diplomatis ia akan selalu menunjukkan gimik kepengayoman sesuai sejarah.
Sebaliknya Presiden Joko Widodo dengan cara tertentu dapat mengikuti irama Presiden Erdogan untuk benefit tertentu yang lebih spesifik, meski pun ia juga memiliki alasan ideologis untuk tak menyukai Tukri.
Dua organisasi besar di Indonesia ditengarai akan sedikit berbeda soal ini. Organisasi yang lebih tua, Muhammadiyah (1912), dengan pakem Islam Ahluhsunnah Wal Jama’ah bersemangat ijtihad, dalam hal tertentu akan memiliki cara pandang berbeda dengan NU (1926) yang bersemangat Islam Nusantara itu. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut.