TAJDID.ID~Jakarta || Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan. di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/8).
Mencermati putusan tersebut, Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra mengatakan, bahwa jaksa dan hakim telah mengabaikan rumusan kekhususan yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, yakni “merupakan lex specialis, dan ini sudah djelaskan secara limitative , terukur dan objektif.
“Semestinya rumusan itu menjadi alasan untuk memperberat pidana, yaitu frasa ‘memperkaya diri’ pada keadaan tertentu, dalam hal ini pada waktu terjadinya bencana” tegas Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti ini, Selasa (24/8).
Azmi mengatakan, korupsi Mantan Mensos dalam kasus Bansos ini merupakan korupsi dengan pemberatan, yang dilakukan saat bencana alam dan kondisi perekonomian masyarakat lumpuh
“Apalagi perbuatan ini dilakukan berlanjut, sangat disengaja secara sistematis, dan direncanakan untuk memperkaya diri dengan matang, tentu sudah dihitung untung ruginya oleh pelaku secara rinci,” kata pakar Hukum Pidana alumni Fakultas Hukum UMSU ini.
Azmi menilai, jaksa dan hakim dari kasus mantan Mensos ini tidak berusaha menggali dan terkesan mengabaikan rumusan kekhususan dalam UU Tipikor, yaitu bila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu dalam hal ini dilakukan pada saat bencana semestinya penjatuhan hukuman terberat bagi pelaku.
“Frasa ‘dilakukan pada waktu terjadinya bencana alam nasional’ ya dalam hal ini dengan keputusan pemerintah menyatakan wabah covid 19 sebagai bencana nasional, jadi ini sudah clear kan, tidak perlu penafsiran lagi. Namun jaksa dan hakim tidak mau tunduk atas perintah dan kehendak UU ini,. Sia- sia saja ada pasal ini kalau jaksa dan hakimnya tidak berani, tidak konsisten dalam menerapkan ketentuan khusus ini,” tukas Azmi.
Meskipun demikian, lanjut Azmi, kalaupun diabaikan atau disimpangi ketentuan pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, guna untuk keseimbangan semestinya akan lebih bijak jika sikap penegakan hukum atas kasus bansos atas mantan Mensos ini bagi jaksa dan Hakim wajib memastikan bahwa hukuman harus dapat memberikan deterrent effect, baik di kluster pidananya dan juga di kluster perekonomian pelaku, dengan cara merampas aset, termasuk memiskinkan pelaku korupsi,
Menurut Azmi, hukuman ganda begini lebih tepat jika korupsi itu dianggap sebagai musuh bersama bangsa. Dan jika hanya mengejar hukuman pidana penjara semata ini sudah tidak efektif, malah masih menimbulkan pertanyaan lagi dalam kasus ini uang penggantinya dikurangi oleh hakim. Tentang hal ini harus terlihat dalam pertimbangan hakim atas pengurangan uang pengganti yang dikurangi oleh Majelis hakim lebih dari 3 Milyar.
“Terdakwa terima 32,4 Milyar, uang disita penyidik 14,5 Milyar terus dalam putusan hakim perintahkan bayar uang pengganti juga 14.5 M, jadi ada selisih Rp 3,4 Milyar?” ungkap Azmi.
Seharusnya, kata Azmi, tentang pengurangan uang pengganti ini harus terlihat dan nmuncul di pertimbangan hakim dalam putusan. Konsekuensi hukumnya kalau tidak ada dalam pertimbangan hakim mestinya putusan tersebut batal dan majelis hakim dapat dianggap unprofesional karena memutus tanpa ada dasar pertimbangan hukum yang jelas
Baca Juga:
- Juliari Batubara Divonis 12 Tahun Penjara, Hakim: Terdakwa Lempar Batu Sembunyi Tangan
- Pertimbangan yang Meringankan Vonis Juliari, Hakim: Terdakwa Cukup Menderita Dihina oleh Masyarakat
Lebih ironis lagi, kata Azmi, bila dicermati kasus bansos ini sejak awal bagi pelaku tentunya sepertinya sudah melakukan kalkulasi perhitungan nilai korupsi , yang seolah saat ini makin banyak orang atau pejabat yang sudah tidak takut lagi dengan korupsi, karena sejak awal pelaku kejahatan korupsi sudah mempertimbangkan dan menghitung antara biaya, risiko dan keuntungan yang dihasilkan.
Menurut Azmi, kalkulasi untung rugi tersebut bertujuan untuk menentukan dan memutuskan pilihan apakah ia akan melakukan atau tidak melakukan suatu kejahatan korupsi , dan bahkan dari kalkulasi yang sudah dipertimbangkannya inilah pelaku memilih dengan sadar untuk korupsi .
“Jadi jelas motifnya uang. Ya, kalau motifnya uang semestinya jaksa sebagai penuntut dan hakim harus mempertimbangkan modus kekinian dari para pelaku koruptor ini. Semestinya keadaan motif merampok uang negara dan memiliki aset dengan cara korupsi inilah yang menjadi pertimbangan jaksa dan hakim dalam melihat kasus korupsi yang dahsyat ini,” sebut Azmi.
Azmi mengatakan, sejak awal jaksa semestinya membuat dakwaan dan tuntutan berlapis dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu juga hakim harusnya berani melakukan penemuan hukum dengan putusan melapis pasal korupsi dengan TPPU agar dapat mengejar aset ,merampas kembali uang negara, mengembalikan uang negara dari pelaku.
“Dengan sendirinya hal ini bila dilakukan akan memiskinkan koruptor, agar jera maksimal pelaku. Ini yang harus jadi formulasi oleh jaksa maupun hakim,” kata Azmi.
Namun, Azmi melihat formulasi ini belum dilakukan, padahal sejak awal sangat jelas diketahui di fase penyidikan bahwa motif pelaku adalah memperkaya diri sendiri alias merampok uang negara, sehingga penghukumannya juga haruslah mampu mengembalikan uang negara sebanyak banyaknya bukan hanya persoalan penjatuhan pidana penjara saja.
Karenanya, bentuk penghukuman hakim kedepan atas perkara korupsi tidak hanya fokus pada pidana badan semata namun mengikuti motif koruptor, yang perbuatan mereka karena uang demi memperkaya diri.
” Jadi putusan hakim bagi pelaku korupsi itu harus bisa membuat para koruptor takut dengan putusan yang berdampak pada kemiskinan financial dalam diri pelaku,sebagai konsekuensi dari hal -hal yang memberatkan penjatuhan pidana bagi pelaku korupsi,” tutup Azmi Syahputra. (*)