TAJDID.ID~Jakarta || Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra mengkritik nota pembelaan atau pledoi Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, terdakwa kasup suap bansos Covid-19 yang membawa-bawa anak dan keluarga sebagai alasan untuk minta keringan hukuman berupa permohonan vonis bebas kepada Hakim, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat via sidang online, Senin (9/8).
Azmi mengatakan, kapasitas terdakwa adalah sebagai pejabat publik. Jadi dalam pertanggungjawabannya tidak tepat membawa-bawa pihak lain, seperti anak dan keluarga.
Baca Juga: Sidang Lanjutan Kasus Suap Bansos Covid-19, Juliari Batubara Minta Bebas
Oleh karena itu, kata Azmi, hakim harus cermat dan objektif menilai pledoi terdakwa.
Dikatakannya, ada indikator dalam menentukan hal hal yang memberatkan dan meringankan dalam putusan hakim.
Tanpa mengurangi kemandirian hakim, kat Azmi, untuk mempetakan terkait penjatuhan pemidanaan dalam putusan yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam membuat hal-hal yang memberatkan dan meringankan, maka semestinya hakim dapat menguji dengan indikatornya berdasarkan beberapa kategori.
Pertama, nilai kerugian dalam kasus korupsi bansos yang temasuk dalam kategori kerugian besar,
Kedua lihat tingkat kesalahan atau dampak perbuatanya pelaku bahwa dampaknya terukur bahwa masyarakat luas terganggu dan dirugikan,
Ketiga, keadaan kualitas peran terdakwa sangat strategis /signifikan dalam terjadinya tindak pidana, karena ia gagal mengawasi bawahannya,
Selanjutnya dapat dilihat apakah perbuatan korupsi tersebut ia lakukan sendiri atau bersama-sama? Serta diketahui pula bahwa kasus korupsi bansos ini dilakukan dalam keadaan bencana dalam skala nasional, apalagi diketahui perbuatan ini dilakukan dengan karakteristik korupsi yang disertai ada perencanaan yang matang dan sistematis dengan menggerakkan bawahannya di kementerian sosial untuk dapat keuntungan ataupun komisi yang diperoleh dari tiap paket bansos tersebut.
“Jelas ini adalah hal-hal dan fakta yang memberatkan. Fakta ini sudah sangat transparan terlihat dan dirasakan masyarakat sehingga dampaknya penyaluran bansos jadi kocar-kacir. Semestinya yang ada ditemukan adalah fakta dan pertimbangan hukum yang memberatkan atas perbuatan terdakwa,” kata pakar pidana alumni Fakultas Hukum UMSU ini.
“Malah putusan pengadilan kalau seperti ini semestinya yang dilakukan adalah penambahan 1/3 dari ancaman hukuman , ini juga berlaku bagi aparat penegak hukum, bukan diringankan hukumannya, apalagi di diskon hukumannya,” imbuhnya.
Bila dilihat tupoksinya, semestinya tugas Mensos itu adalah melindungi, menjamin dan bertanggung jawab atas segala hal terkait bantuan bansos. Namun faktanya, kata Azmi, yang dilakukan terdakwa membuat penyaluran paket sembako meniadi terganggu atau kocar-kacirnya akibat bancakan untung dalam paket bansos .
Jadi, kata Azmi, kalaupun ada alasan dalam nota pembelaan (pledoi) tentang anak, semestinya hanya sebagai data hakim saja, argumentnya ini sifatnya subjektif, tidak relevan guna dijadikan pertimbangan hukum.
“Toh, yang dilakukan pelaku terkait dengan tanggungjawab jabatannya sebagai Menteri bukan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Ini kan konsekuensi jabatan publik, maka alasan hukum pelaku semestinya berupa pernyataan atau alasan meringankan yang sifatnya kegiatan publik, bukan pula berlindung keringanan ke ranah hukum privat,” tegas Azmi.
Azmi mempertanyakan, apa para pelaku bansos itu waktu melakukan korupsi mikirkan anak, akan berdampak malu sama anak dan keluarga? Ia heran, kenapa sekarang dalam pembelaan terdakwa bawa dan ingat anak.
“Ini kan namanya gak pas dan tidak tepat. Semesti bijaklah, jangan dibawa- bawalah anak. Karena setiap orang punya kehidupan masing-masing, termasuk dalam hal ini anak. Jadi alasan keringan atas nama anak untuk bertanggungjawab atas resiko jabatan gak pas, ini argumentasi yang gak logis, contradictio in terminis, ” tegas Azmi .
“Mereka para pelaku korupsi dana bansos ini sebenarnya yang tidak menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik, kenapa mengajukan alasan keringanan dengan membawa jabatan sebagai kepala keluarga?,” tambahnya lagi.
Dari kejadian-kejadian seperti ini, kata Azmi, seharusnya menjadi perhatian sekaligus pesan bagi pemimpin di semua level pejabat publik untuk tidak berlindung ke orang lain atau salahkan orang lain jika dirinya salah.
“Mengakui kesalahan lebih bijak daripada mencari-cari alasan pembenar,” ujar Azmi.
Karenanya, terkait kasus ini Azmi mengingatkan hakim perlu tegas, jeli, teliti dan cermat dalam menguji fakta dan data yang dijadikan untuk pertimbangan hukum,.
“Apalagi untuk hal-hal yang sifatnya subjektif, hakim harus tegas, objektif dan berintegritas sebagai benteng keadilan, agar wibawa hukum terjaga khususnya menghadapi pelaku kejahatan tindak pidana korupsi,” tutup Azmi Syahputra. (*)