TAJDID.ID || Penggiat media sosial Ferry Koto mengkritik Kapolda Sumatera Selatan yang dinilai terlalu mudah kena prank terkait kasus hoaks donasi Rp 2 Triliun keluarga alm Akidi Tio yang menghebohkan publik baru-baru ini.
Baca juga: Buntut Hoaks Donasi Rp 2 T, Polisi Diminta Periksa Denny Siregar Cs
Aktivis pemberdayaan ekonomi masyarakat ini mempertanyakan mengapa bisa sekelas Kapolda Sumsel yang berpangkat Irjen begitu mudah dikibuli.
“Level Irjen, menjabat Kapolda, begitu mudah diprank. Bahkan sempat mengaku kenal lama dgn keluarga tsb.
Hilang semua ilmu kepolisian, ilmu penyidikan. Terbuang sia2 uang negara untuk pendidikannya dan jenjang kepangkatannya selama ini.
Apa sebab begitu mudah dikibuli?” tulis Ferry Koto di laman Twitter pribadinya yang di posting pada 7.13 AM · 3 Agt 2021 — Redaksi TAJDID.ID sudah minta izin untuk mengutip utas ini.
Level Irjen, menjabat Kapolda, begitu mudah diprank. Bahkan sempat mengaku kenal lama dgn keluarga tsb.
Hilang semua ilmu kepolisian, ilmu penyidikan. Terbuang sia2 uang negara untuk pendidikannya dan jenjang kepangkatannya selama ini.
Apa sebab begitu mudah dikibuli?
— Ferry Koto (@ferrykoto) August 3, 2021
Jika merujuk UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (PHP), maka menurut Ferry Koto Kapolda Sumsel bisa dikenakan pasal 14 ayat 2, yang berbunyi; Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
“Karena ‘Dia patut menduga, apalagi sbg polisi, bahwa pemberitahuan ‘akan sumbang 2T’ adalah bohong, yg dapat timbulkan keonaran” kata Ferry Koto
Ferry mengungkapkan, penggunaan Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU No 1/1045 yang sering disebut pasal karet ini telah banyak makan korban rakyat sipil. Karena itu ia mempertanyakan apakah prinsip equality before the law akan juga benar-benar ditegakkan dalam kasus ini.
“Penggunaan Psl 14 (1) & (2) UU 1/1946, yg sering disebut Psl Karet ini telah banyak memakan korban rakyat SIPIL. Sekarang, apakah POLISI mau menangkap POLISI, dgn menerapkan pasal tsb, sebagaimana diterapkan ke HRS dkk, dlm kasus info hasil Swab. Equality Before The Law,” tukas Ferry Koto.
“Notes: UU 1/1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (PHP). Pasal 14 ayat 1, Dengan sengaja MENYIARKAN Berita/Pemberitahuan Bohonng. Pasal 14 ayat 2, Menyiarkan Berita/Pemberitahuan YANG PATUT ia menyangkan sebagai berita/pemberitahuan bohong,” imbuhnya menjelaskan tentang Psl 14 (1) & (2) UU 1/1946.
Jika merujuk dari ayat-ayat pada Pasal 14 UU No 1/1946 tersebut, dan ditambah pemberitaan-pemberitaan media (bisa dijadikan alat bukti, yang hadir konferensi pers bisa jadi saksi) saat awal munculnya info sumbangan tersebut, maka menurut Ferry Koto jelas Kapolda Sumsel aktif menyiar info yang patut ia duga bohong.
“Jika merujuk ayat2 tsb, dan pemberitaan2 media (bisa jadi alat bukti, yg hadir konferensi pers bisa jadi saksi) saat awal munculnya INFO sumbangan tsb, maka jelas Kapolda nya aktif MENYIARKAN info yg patut ia duga BOHONG. Tinggal sekarang disidik. Polisi sidik polisi. Mau?” kata Ferry Koto.
“Semoga Kapolri bertindak tepat, dan tegak lurus dengan perintah UU. Anak buah salah, timbulkan keonaran (ini penyebab karetnya pasal tsb), tindak mestinya. Sebagaimana polisi menindak rakyat sipil dgn pasal di UU yang masih berlaku tsb. End,” tegas Ferry lagi.
Jika merujuk ayat2 tsb, dan pemberitaan2 media (bisa jadi alat bukti, yg hadir konferensi pers bisa jadi saksi) saat awal munculnya INFO sumbangan tsb, maka jelas Kapolda nya aktif MENYIARKAN info yg patut ia duga BOHONG.
Tinggal sekarang disidik. Polisi sidik polisi. Mau?
— Ferry Koto (@ferrykoto) August 3, 2021
Lebih lanjut Ferry juga mempertanyakan, apakah wartawan media nasional peliput kasus ini yang salah dengar atau Dir Intelkam Polda Sumsel yang keliru.
“Entah wartawan @CNNIndonesia yg salah dengar atau Dir intelkam Polda Sumsel yg keliru,” tanya Ferry.
Ia menjelaskan, ancaman Pasal 15 UU 1/1946 itu maksimal 2 tahun penjara. Sedangkan Pasal 16 maksimal 1 tahun 6 bulan.
“Jika kenakan pasal tsb tak bisa menahan tersangka. Tak terpenuhi syarat objektif penahanan,” jelasnya,
Namun, Lanjut Ferry Koto, Pasal 14 ayat 1 UU 1/1946 dapat dikenakan ancaman maksimal 10 tahun. Jika mengenakan pasal 14 ini, baru tersangka bisa ditahan, karena terpenuhi syarat objektif penahanan yakni ancaman minimal 5 tahun penjara.
“Dan jk kenakan pasal ini, Kapoldanya mestinya juga tersangka,” sebut Ferry Koto.
Kalau dilihat saat rilis adanya sumbangan 2 T, menurut Ferry Koto justru Kapolda Sumsel yang bertindak menyiarkan, karena rilis dilakukan Kapolda di Mapolda, yang megundang Pers.
“Jika hanya anak Akidio di rumahnya MENYIARKAN, baru Kapolda tak telibat,” kata Ferry Koto
Menurut hemat Ferry Koto, Kapolda Sumsel harusnya dinonaktifkan dan diperiksa oleh Kapolri, sebab peran Kapolda sangat nyata menyiarkan info bohong jadi berita, dengan mengadakan konferensi pers, sehingga kemudian jadi pembicaraan nasional.
“Kalau anak Akidi woro2 di rumahnya, tak akan diliput media & jadi berita nasional,” kata Ferry.
“Soal Kapolda mengklaim bahwa ia ‘berfikir positif’, itu urusan mens rea yg nanti silahkan dibuktikan. Yg jelas faktanya Kapolda terlibat aktif menyiarkan info bohong tsb, atau setidaknya ia dapat menduga itu sbg info bohong. Demikian,” tutup Ferry Koto. (*)
Hemat sy, Kapolri harus non aktifkan Kapolda Sumsel & diperiksa.
Peran Kapolda sangat nyata menyiarkan info bohong ini jd berita, dg mengadakan pers con yg kemudian jd pembicaraan nasional.
Kalau anak Akidi woro2 di rumahnya, tak akan diliput media & jadi berita nasional.
— Ferry Koto (@ferrykoto) August 3, 2021