Karena itu, merujuk dari banyak hasil studi berskala global dalam komunikasi penangan Covid-19, Shohib menyimpulkan bahwa rekomendasi strategi penguatan komunikasi yang mengacu pada lensa disiplin beragam sangat penting dilakukan.
“Bahwa komunikasi krisis pemerintah yang efektif bergantung pada keterlibatan masyarakat. Mengarusutamakan proses komunikasi dua arah untuk tindakan dan kecepatan serta skala tanggapan pemerintah sangat penting,” kata Koordinator n’BASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya) ini.
Landasan pendekatan komunikasi menurut Shohib harus berbasis kepercayaan untuk dapat memanfaatkan kerjasama. Selain itu, mempertahankan perilaku transparansi, kejujuran menjadi prasyarat selain pentingnya pemilihan plafform media.
Shohib tidak menapik, dalam konteks komunikasi penangan krisis, ego sektoral memang sebuah tragedi. Tetapi menurut Shohib jauh lebih tragis lagi ketika muncul arogansi klaim diri sebagai lebih otoritatif hanya karena mandat kekuasaan, sehingga, misalnya, memperlakukan masyarakat sebagai awam yang seyogyanya hanya perlu loyal atas apa pun yang diinstruksikan.
“Padahal masyarakat itu memiliki segalanya. Mulai dari posisi tak tergantikan sebagai pemberi legitimasi politik sampai kepada kecerdasan-kecerdasan tersembunyi yang kerap selalu disepelekan. Tanpa disadari kerap basis pengetahuan masyarakat dapat saja lebih terandalkan dibanding apa pun yang dibanggakan oleh pemegang kekuasaan sebagai kemewahannya sendiri,” ungkap Shohib.
Kemudian, terkait adanya variasi pengalaman empiris sejumlah negara tertentu yang berhasil melandaikan kurva terinfeksi Covid-19 lebih awal dan yang lain kewalahan, Shohib mengatakan alasannya sangat kompleks.
Tetapi, menurutnya keberhasilan respons sebagian negara terbukti bergantung pada, pertama, kecepatan dan skala intervensi; kedua, bagaimana masyarakat menerima, memahami, dan, ketiga, efektivitas rangsangan persuasi mendorong kegairahan bertindak berdasarkan informasi pemerintah dan lembaga lain.
“Negara dengan masyarakat ukuran besar yang meski sama-sama menghadapi masalah serupa (pandemi Covid-19), sesungguhnya menghendaki pendekatan beragam. Tak berguna mengandalkan cerita sukses di suatu tempat untuk replikasi di tempat lain. Ada ‘hukum besi keadaan’, bahwa tidak ada strategi komunikasi ‘satu ukuran yang cocok untuk semua,” sebutnya.
Shohib menegaskan, komunikasi khas pandemi terkait dengan studi lintas disiplin (komunikasi, psikologi sosial, dan studi kebijakan) dengan ditopang epidemiologi dan virologi. Karena itu komunikasi efektif era Covid-19 memerlukan perspektif lintas disiplin berdasar bukti dan mencerminkan nilai-nilai masyarakat demokratis.
Menurutnya, negara-negara yang terlalu ambisi menunggalkan penanganan dan pelaksanaan kebijakan kerap terjebak mengingkari kekuatan sendiri, yakni kekayaan kelembagaan sosial.
“Jika kelembagaan sosial merasa tak perlu dilibatkan, mereka akan merasa sebagai objek yang direndahkan,” kata Shohib.
Ia mengingatkan, organisasi pemerintah itu sangat terbatas baik dalam jaringan maupun kapasitas, dalam kondisi tertentu bahkan juga keterpercayaan. Karena itu, menurutnya menyanggah kekuatan kelembagaan sosial adalah proses sistematis bunuh diri politik.
“Selain itu, jangan sampai perumusan kebijakan disengaja tak melibatkan dua orang terpenting: orang beriman dan orang berilmu, disebabkan pemerioritasan transaksi oligarki,” tutupnya. (*)