TAJDID.ID~Medan || Sosiolog FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar mengatakan, bahwa komunikasi dan kepemimpinan efektif adalah inti yang sangat menentukan dalam pengelolaan pandemi, lanskap sosial dan ekonomi yang berubah cepat seperti yang dialami oleh banyak negara di dunia belakangan ini, termasuk Indonesia.
“Banyak Negara berayun di antara pesan imperatif kekuatan asing, negara mau pun multi-national corporations dan masalah domestik dasar,” ujarnya, Senin (19/7).
Menurut Shohib, yang kerap terjadi adalah lahirnya kebijakan prematur dan menjauhi kebutuhan masyarakat. Produk kebijakan yang selalu perbenturan kekuatan komprador dalam negeri, yang lazimnya berfungsi sebagai mentor atau fasilitator bagi oligarki yang tak sudi bahkan tega tak memerioritaskan maslahat bangsanya sendiri.
“Negara-negara defisit demokrasi yang kemampuannya hanya pada tingkat penggelaran demokrasi prosedural berintikan pemilu berkala kerap mengalaminya,” kata Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut ini.
Dengan cara seperti itulah, kata Shohib, kualitas kepemimpinan dapat selalu menjauhkan solusi dari jangkauan pemerintahan itu sendiri dan apalagi masyarakatnya. Menurutnya, adalah diskusi kebijakan yang begitu genting dan mendunia ketika dua ufuk berbenturan, yakni antara save human first dan economic recovery untuk menuju sebuah kondisi yang disebut new normal.
“Kegagalan demi kegagalan akan terus menerpa. Meski dapat selalu ditingkahi klaim-klaim sepihak tentang kesuksesan yang lazim dihiasi angka-angka statistik tak terandalkan, namun karena klaim sukses tak sesuai realitas sosial, penggerusan legitimasi pun terjadi,” sebutnya.
Shohib menegaskan, pemimpin bijak seyogyanya segera tahu akar masalah. Tetapi dorongan kepentingan yang berbenturan (dikte imperatif kepentingan kapitalisme asing, negara atau multi-national corporatins) dan pengistimewaan kepentingan oligarki dalam negeri di satu ufuk, dan maslahat masyarakat di ufuk lain, kerap melemparkan nasib masyarakat dengan berbagai retorika.
“Ada tahapan perkembangan merangkak menuju civil disobediens atau pembangkangan sipil. Karena pemerintah di mana saja dan kapan saja akan selalu menakutinya, maka kerap jalan yang dipilih justru proses mempercepat terjadinya civil disobediens, yakni resep kuno: penekanan berlabel penertiban sosial,” jelasnya.